PROBLEMATIKA WASIAT DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Kewarisan
Dosen pengampu Dra. Siah Khosyi’ah, M.Ag.
Oleh Kelompok 8 :
Kartika Pratiwi (1143010054)
Khaerul Anwar (1143010055)
Lilis Khalisatul Karimah (1143010056)
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016
A.
PENDAHULUAN
Apabila dilihat dari segi etimologi, wasiat mempunyai beberapa arti
yaitu menjadikan, menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Secara umum, kata wasiat disebutkan dalam Al-Qur’an
sebanyak 9 (sembilan) kali, dalam bentuk kata kerja disebut sebanyak 14 kali,
dalam bentuk kata benda jadian sebanyak 2 kali. Hal yang berhubungan dengan
wasiat ini seluruhnya disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 25 kali.
Secara terminologi, para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah
pemilikan yang disandarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan
jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru. Pengertian ini
adalah sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di
kalangan mazhab Hanafi yang mengemukakan bahwa wasiat itu adalah tindakan
seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik
berupa kebendaan maupun manfaat secara sukarela tanpa imbalan yang
pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadinya kematian orang yang menyatakan
wasiat tersebut. Para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Maliki, Syafi’I dan
Hambali memberi definisi wasiat lebih rinci lagi, mereka mengatakan bahwa
wasiat itu adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat
berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat
setelah ia meninggal dunia. Pengertian ini adalah berbeda dengan pengertian
hibah. Hibah berlaku sejak orang memberi hibah kepada orang yang menerima hibah
dilaksanakan, dan orang yang menerima hibah itu telah menerima hibah secara
baik tanpa menunggu orang yang memberi hibah itu meninggal dunia terlebih
dahulu. Sedangkan wasiat belum berlaku kalau orang yang menyatakan wasiat itu
belum meninggal
dunia. Dengan kata lain, wasiat itu adalah pemberian yang ditangguhkan.
Dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan wasiat adalah pemberian suatu
benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia (Pasal 171 huruf f). Ketentuan tentang wasiat ini
terdapat dalam Pasal 194 sampai dengan Pasal 209 yang mengatur secara keseluruhan prosedur
tentang wasiat.
Sebagaimana telah dijelaskan di dalam latar belakang di atas,
wasiat bukan saja dikenal dalam hukum Islam, tetapi juga dikenal dalam hukum
perdata BW. Dalam hukum perdata BW mengenal tiga macam bentuk wasiat, yaitu :
(1) wasiat olografis, yaitu surat wasiat yang seluruhnya ditandatangani oleh
pewaris sendiri, kemudian surat wasiat tersebut harus diserahkan untuk disimpan pada
seorang notaris dan
penyerahan itu bisa dalam keadaan terbuka atau bisa juga dalam keadaan tertutup, (2)
wasiat umum, yaitu surat wasiat yang dibuat oleh seorang notaris, dengan cara
orang yang akan meninggalkan wasiat itu menghadap notaris serta menyatakan
kehendaknya dan mohon kepada notaris agar dibuatkan akta notaris dengan dihadiri
dua orang saksi, pembuat wasiat harus menyampaikan sendiri kehendaknya itu
di hadapan saksi-saksi dan tidak boleh diwakilkan. Harus dibuat dengan bahasa
yang dipergunakan oleh pewaris ketika menyampaikan kehendaknya dengan syarat
bahwa saksi-saksi dan notaris mengerti juga bahasa si pewaris tersebut, (3)
wasiat rahasia, yaitu wasiat yang ditulis sendiri atau ditulis orang lain yang
digunakan untuk memenuhi kehendak terakhirnya. Surat wasiat model ini harus disegel,
kemudian diserahkan kepada notaris dengan dihadiri empat orang saksi, penyegelan
dilakukan di hadapan notaris. Sebaiknya pembuat wasiat harus membuat keterangan di
hadapan notaris dan saksi-saksi bahwa yang termuat dalam segel itu adalah surat
wasiatnya yang ia tulis sendiri atau yang ditulis orang lain dan ia menanda
tanganinya, kemudian notaris membuat keterangan yang isinya membenarkan
keterangan tersebut.
Dalam hukum adat, wasiat adalah pemberian yang dilaksanakan oleh
seorang kepada ahli warisnya atau orang tertentu yang pelaksanaannya dilakukan
setelah orang yang menyatakan wasiat itu meninggal. Wasiat dibuat karena
berbagai alasan yang biasanya adalah untuk menghindarkan persengketaan,
perwujudan rasa kasih sayang dari orang yang menyatakan wasiat, orang yang
menyatakan wasiat akan melaksanakan haji dan orang yang menyatakan wasiat
merasa ajalnya sudah dekat tetapi masih ada ganjalan semasa hidupnya yang belum
terpenuhi. Orang yang menyatakan wasiat dapat mencabut kembali wasiat yang
dinyatakan itu atau telah diikrarkan, tetapi tidak dicabut sampai orang yang
menyatakan wasiat itu meninggal dunia, maka para ahli waris harus menghormati
wasiat itu. Pelaksanaan wasiat dalam hukum adat tidak perlu dilakukan di
hadapan notaris, tetapi cukup diucapkan secara lisan di hadapan keluarga atau
ahli waris yang hadir pada waktu pernyataan wasiat dilaksanakan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Sehubungan pengertian dan kedudukan wasiat dalam sistem hukum yang berlaku
di Indonesia ada sedikit perbedaan dalam pelaksanaannya sehingga menimbulkan
beberapa permasalahan hukum dan persinggungan dengan hukum kewarisan Islam yang
memerlukan solusi penyelesaiannya, maka perlu dibahas secara sistematis dan
logis tentang beberapa masalah hukumnya dalam konteks kewenangan di Pengadilan
Agama. Terutama yang berhubungan dengan batalnya wasiat, pertentangan
hibah dengan wasiat, pencabutan wasiat, wasiat wajibah, syarat-syarat dan rukun
wasiat, dan orang-orang yang tidak boleh menerima wasiat, serta beberapa problem hukum
lainnya.
C.
PEMBAHASAN
1. Dasar Hukum Wasiat
Dalam syari’at (hukum) Islam, dapat ditemui dalam Al-Qur’an surat
Al-Baqarah (2) ayat (180), Allah Swt. mengemukakan apabila seseorang di antara umat
manusia sudah ada tanda-tanda kedatangan maut, sedangkan ia mempunyai harta
yang banyak, maka ada kewajiban baginya untuk berwasiat terutama kepada ibu
bapak dan karib kerabatnya. Kemudian dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah (5) ayat
(106) Allah Swt. mengemukakan apabila salah seorang di antara umat manusia
menghadapi kematian, sedangkan ia hendak berwasiat maka hendaknya wasiat itu
haruslah disaksikan oleh dua orang saksi yang adil atau dua orang saksi non-muslim
(berlainan agama dengan orang yang menyatakan wasiat) jika ia sedang dalam
perjalanan di muka bumi lalu secara tiba-tiba ia ditimpa bahaya kematian. Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Umar r.a.
dia berkata : “Telah bersabda Rasulullah Saw. bahwa hak bagi seorang muslim
yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua
malam, tiada lain wasiatnya itu tertulis amal kebajikannya”. Selanjutnya Ibnu
Umar r.a. berkata: “Tiada berlaku bagiku satu malam pun sejak aku mendengar
Rasulullah Saw. mengungkapkan hadis itu, kecuali wasiatku selalu berada
disisiku.
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang status hukum wasiat
ini. Mayoritas mereka berpendapat bahwa status hukum wasiat ini tidak fardhu
‘ain, baik kepada
kedua orang tua maupun kepada kerabat yang sudah menerima warisan atau
kepada mereka yang tidak menerima warisan. Implikasi wasiat yang dipahami oleh
para ahli hukum Islam itu adalah kewajiban wasiat hanya dipenuhi jika seseorang
telah berwasiat secara nyata, jika mereka tidak berwasiat maka tidak perlu
mengada-ada agar wasiat dilaksanakan karena ketentuan yang tersebut dalam Al-Quran
surat Al-Baqarah (2) ayat (180) itu telah dinasakh oleh surat An-Nisaa’ (4)
ayat (11)-(12). Oleh karena itu, kedua orang tua dan kerabat dekatnya, baik
yang menerima warisan maupun yang tidak menerima warisan setelah
turunnya surat An-Nisa’ (4) ayat (11)-(12) itu sudah tertutup haknya untuk menerima
wasiat.
Di kalangan ahli hukum mazhab Hambali dijelaskan bahwa wasiat menjadi
wajib apabila wasiat yang bila tidak dilakukan akan membawa akibat hilangnya
hak-hak atau peribadatan. Seperti diwajibkan bagi orang yang menanggung
kewajiban zakat, haji atau kifarat ataupun nazar. Wasiat menjadi sunnat jika berwasiat kepada kerabat yang fakir dan tidak bisa mewaris,
dengan syarat orang
yang meninggal dunia meninggalkan harta yang banyak dan tidak melebihi sepertiga
harta. Wasiat menjadi makruh jika wasiat dilaksanakan oleh orang yang
tidak meninggalkan harta yang cukup, sedangkan ia mempunyai ahli waris yang
membutuhkannya. Wasiat menjadi haram jika wasiat dilaksanakan melebihi
sepertiga harta yang dimilikinya, atau berwasiat kepada orang yang berburu harta
dan merusak. Wasiat menjadi mubah apabila dilaksanakan tidak sesuai
dengan petunjuk syar’i seperti wasiat kepada orang yang kaya.
Ahli hukum Islam yang lain seperti Az-Zuhri dan Abu Mijlaz
berpendapat bahwa wasiat itu wajib hukumnya bagi setiap muslim yang akan
meninggal dunia dan ia meninggalkan harta, baik hartanya itu dalam jumlah yang
banyak maupun jumlahnya sedikit. Sedangkan ahli hukum di kalangan Mahzab
Masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan beberapa ahli hukum Islam lainnya
memandang bahwa yang wajib wasiat tersebut hanya kepada orang tua dan karib
kerabat yang oleh karena sesuatu hal tidak mendapat waris dari orang yang
berwasiat itu. Sementara itu, para ahli hukum aliran Zaidiyah tidak setuju dengan pendapat
tersebut. Mereka berpendapat bahwa kedudukan hukum wasiat itu berbeda-beda
antara seseorang
dengan seseorang lainnya. Dapat saja wajib bagi seseorang apabila dikhawatirkan
harta yang akan ditinggalkan akan disia-siakan, dapat pula sunnat apabila
wasiat itu diperuntukkan untuk kebajikan, dapat pula menjadi haram apabila
wasiat yang dilaksanakan tersebut merugikan ahli waris, dan dapat menjadi makruh
apabila orang yang berwasiat itu jumlah hartanya sedikit, sedangkan jumlah
ahli waris yang ditinggal jumlahnya banyak dan sangat membutuhkan harta
tersebut, dan dapat menjadi jaiz apabila wasiat tersebut ditujukan
kepada orang yang berada, apakah penerima wasiat dari pihak keluarga atau
tidak.
Abu Daud, Ibnu Hazm dan Ulama Salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu
‘ain. Mereka beralasan bahwa Al-Qur’an dan surat Al-Baqarah (2) ayat (180) dan
surat An-Nisa’ (4) ayat (11)-(12) Allah Swt. mewajbkan hamba-hamba-Nya untuk
mewariskan sebagian hartanya kepada ahli waris yang lain dan mewajibkan wasiat
didahulukan pelaksanaannya dari pada pelunasan hutang. Adapun maksud kepada
orang tua dan kerabat, dipahami karena mereka itu tidak
menerima warisan. Jadi, merupakan kompromi dari ayat wasiat dan ayat warisan.
Hal ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Daruquthni yang menyatakan
bahwa hak menerima wasiat bagi ahli waris yang menerima warisan tidak
diperkenankan kecuali apabila ahli waris lain memperbolehkannya. Dalam perkembangan
selanjutnya ketentuan ini dikembangkan dalam bentuk wasiat wajibah, yang saat ini banyak dipergunakan oleh negara-negara Islam,
termasuk di negara
Indonesia sebagaimana tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam. Meskipun hal
yang terakhir ini mengalami perobahan makna dan nuansa.
Pendapat sebagaimana tersebut di atas juga dikemukakan oleh Dawud
al Zahiry, Ibnu
Jarir al Tabary dan sebahagian ulama tabi’in seperti Al-Dahhak, Tawus dan
Al-Hasan. Mereka ini mengemukakan bahwa wasiat itu hukumnya wajib. Mereka
beralasan bahwa yang dinasakh itu adalah wasiat yang diberikan kepada ibu bapak
dan kerabat yang sudah ditentukan besarnya bagian yang diterima dalam hal
menerima waris. Oleh karena itu, mereka yang tidak menerima tidak termasuk
bagian yang dinasakh oleh ayat (11)-(12) saurat An-Nisa’ (4) tersebut.
Pendapat yang lebih realistis adalah sebagaimana yang dikemukakan
oleh Imam Malik, jika orang yang meninggal dunia tidak berwasiat apa-apa, maka tidak
perlu dikeluarkan harta untuk keperluan wasiat, tetapi jika orang yang meninggal
dunia itu menyatakan wasiatnya, maka harus dikeluarkan sepertiga hartanya untuk
kepentingan wasiat itu.8 Imam Syafi’i dalam pendapatnya yang lama dan pendapat
ini diakui oleh Ibnu Abdul Barri sebagai ijma’ ulama, bahwa wasiat itu tidak
wajib berdasarkan dalil makna hadis dari Ibnu Umar r.a. itu, karena seandainya
dia tidak mewasiatkan niscaya dia bagikan semua hartanya antara para ahli
warisnya berdasarkan ijma’ para ulama. Lalu seandainya wasiat itu adalah
wajib, maka pasti dia sudah mengeluarkan sebagian dari hartanya sebagai bagian
pengganti wasiat itu.
Pendapat yang paling dekat kepada kebenaran ialah pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli hukum Islam di kalangan ulama Al-Hadawiyah dan Abu Tsaur yang
mengatakan bahwa wajib wasiat itu atas orang yang wajib menurut agama, sebab
apabila tidak dilaksanakan wasiat akan dikhawatirkan terjadi sia-sia atau
hilang percuma barang-barang yang seharusnya sudah ditasarufkan secara baik,
seperti barang titipan, hutang kepada Allah Swt. atau juga hutang kepada sesama
manusia. Letak wajibnya bagi orang yang mempunyai hak untuk berwasiat adalah
orang yang mempunyai harta dan tidak mungkin dia dapat menyucikan dirinya
apabila ia tidak berwasiat sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Apabila ketentuan ini tidak terdapat pada orang yang berwasiat itu,
maka wasiat tidak wajib dilaksanakan.
Pemahaman tentang status hukum wasiat ini ternyata mengalami perkembangan
sepanjang masa, sangat tergantung dari sudut pandang mana yang melihatnya.
Ketentuan hukum wasiat ini sangat tergantung dengan kondisi dan situasi orang yang
melaksanakan wasiat itu. Pada suatu saat mungkin bisa wajib, bisa haram,
makruh, sunnat, ataupun jaiz.
2. Syarat Sah Wasiat
Para ahli hukum Islam berselisih paham tentang rukun dan
syarat-syarat wasiat sehingga wasiat itu sah dilaksanakan oleh seseorang sesuai
dengan kehendak syara’. Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa rukun wasiat itu hanya penyerahan
dari orang yang berwasiat saja, selebihnya tidak perlu.11 Sedangkan Ibnu Rusy
dan Abdur Rahman al Jaziry mengemukakan bahwa rukun dan syarat sahnya suatu
wasiat disandarkan kepada empat hal yaitu orang yang berwasiat (al-musi),
orang yang menerima wasiat (al musa-lah), barang yang diwasiatkan (al-musa-lih)
dan redaksi wasiat (shigat).12 Pendapat terakhir ini disetujui oleh Muhammad
Jawad Mughniyah walaupun dengan redaksi sedikit berbeda.
a.
Orang
yang Berwasiat
Para ahli hukum Islam sepakat, bahwa pemberi wasiat itu adalah
setiap pemilik barang
yang sah hak pemiliknya terhadap orang lain. Di kalangan ahli hukum mazhab
Hanafi mensyaratkan orang yang berwasiat itu hendaknya orang yang
mempunyai keahlian memberikan milik kepada orang lain. Keahlian itu
harus memenuhi syarat, yaitu dewasa, berakal sehat, tidak punya hutang yang
menghabiskan seluruh hartanya, tidak bergurau dan tidak dipaksa, ia
tidak menjadi pewaris di waktu matinya meskipun pada waktu berwasiat ia
sebagai pewaris, ia bukan budak dan orang yang berwasiat itu tidak terkekang
mulutnya sebab kalau ia tidak bisa berkata-kata, maka tidak sah wasiatnya,
kecuali bila penyakitnya berlangsung terus sehingga menyebabkan ia
bisu dan terpaksa bicara secara isyarat, maka sah wasiatnya.
Semua ahli hukum Islam
sepakat bahwa wasiat orang gila yang dibuat dalam kondisinya sedang gila dan
wasiat anak kecil yang belum mumayyiz adalah tidak sah. Mereka berselisih
pendapat tentang wasiat anak kecil tetapi sudah mumayyiz. Para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Maliki, Hambali,
dan Syafi’i memperbolehkan asal anak tersebut suadah berumur tahun penuh. Pakar hukum
Islam di kalangan mazhab Hanafi menyatakan bahwa wasiat yang demikian itu tidak boleh, kecuali jika wasiat itu menyangkut
persiapan kematian dan penguburan, pada hal, seperti diketahui kedua hal ini
tidak perlu memerlukan wasiat.16 Di kalangan mazhab Imamiyah menganut
prinsip bahwa wasiat anak kecil yang belum mumayyiz diperbolehkan (jaiz)
dalam masalah kebaktian (al-birr) dan perbuatan baik (ihsan)
saja, dan tidak diperkenankan dalam masalah lainnya. Hal ini disandarkan
kepada pendapat Imam Ash Shadiq yang memperbolehkannya dalam hal
tersebut.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang
dungu, dan orang yang menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar,
wasiat mereka diperbolehkan sekiranya mereka mempunyai akal yang dapat
mengetahui apa yang mereka wasiatkan. Sedangkan Muhammad Jawad Mughniyah
mengemukakan bahwa di kalangan mazhab Imamiyah mengatakan orang safih (idiot)
tidak boleh berwasiat dalam soal hartanya, tetapi boleh dalam soal yang
lainnya. Jika ia menunjuk seseorang berhubungan dengan anak-anaknya maka
wasiatnya sah, tetapi jika ia berwasiat untuk memberikan sesuatu dari hartanya,
maka wasiatnya tidak sah dan batal. Demikian juga dengan orang mabuk,
kehilangan kesadaran, bermain-main dalam wasiat, keliru, dan juga dipaksa melakukan
wasiat, maka wasiatnya tersebut tidak sah. Ketentuan terakhir ini juga dipegang
oleh para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Maliki, Hambali, dan Hanafi. Sedangkan
mazhab Syafi’i mengatakan bahwa wasiat orang yang hilang kesadarannya
adalah tidak sah, tetapi wasiat orang yang mabuk sah.
Dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia hal
tersebut di atas mirip dengan pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam satu
pendapatnya. Dalam Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan, bahwa orang yang
berwasiat itu adalah orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun,
berakal sehat dan tanpa adanya paksaan, dapat mewasiatkan sebagian harta
bendanya kepada orang lain atau pada suatu lembaga. Harta benda yang
diwasiatkan itu harus merupakan hak dari pewasiat. Pemilikan barang yang diwasiatkan itu baru dapat
dilaksanakan sesudah orang yang berwasiat itu meninggal dunia. Dikemukakan pula
bahwa batasan minimal
orang yang boleh berwasiat adalah orang yang benar-benar telah dewasa
secara undang-undang, jadi berbeda dengan batasan baligh dalam
kitab-kitab fiqh tradisional.
b.
Orang
yang Menerima Wasiat
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa orang-orang atau badan yang menerima wasiat
adalah bukan ahli waris dan secara hukum dapat dipandang cakap untuk
memiliki sesuatu hak atau benda. Ketentuan ini adalah sejalan dengan rumusan
Pasal 171 huruf f dan Pasal 194 ayat (1) Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Ketentuan tersebut juga didasarkan
kepada Hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh at-Tarmizy bahwa tidak sah
wasiat kepada ahli waris.
Menurut para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Hanafi,20 orang yang
menerima wasiat (muushaa lahu) disyaratkan harus : (1) mempunyai keahlian
memiliki, jadi tidak sah berwasiat kepada orang tidak bisa memiliki, (2) orang
yang menerima wasiat itu masih hidup ketika dilangsungkan upacara wasiat,
meskipun dalam perkiraan, karena itu bisa memasukkan wasiat kepada janin yang
masih ada dalam perut ibunya, sebab bayi itu dalam perkiraannya sebagai orang
yang masih hidup. Oleh sebab itu, sah berwasiat yang ditujukan kepada janin
dalam kandungan, sebagaimana juga sah dalam hal warisan, (3) yang menerima
wasiat itu tidak melakukan pembunuhan terhadap orang yang berwasiat secara
sengaja atau secara salah. Sekiranya ada orang yang berwasiat kepada orang
lain, kemudian orang yang telah diwasiati itu melakukan pembunuhan terhadap
orang yang berwasiat setelah wasiat diucapkan, maka menjadi batal wasiat itu.
Demikian pula jika seseorang memukul orang lain dengan pukulan yang mematikan,
lalu orang yang dipukul itu berwasiat lalu ia mati, maka wasiatnya bisa
diteruskan, meskipun para ahli waris tidak memperbolehkannya, (4) orang yang
diwasiati itu tidak disyari’atkan harus orang Islam, oleh karena itu, sah saja
wasiat orang muslim kepada orang kafir zimmi, kecuali kepada orang yang kafir
harbi yang berada di kawasan perang musuh, (5) wasiat tersebut tidak
ditujukan kepada orang yang murtad, sedangkan wasiat orang kafir zimmi yang
ditujukan kepada orang Islam adalah sah.
Persoalannya adalah bagaimana sekiranya wasiat diberikan kepada kerabat yang
telah menerima warisan dan ahli warisnya itu menyetujuinya. Dalam kaitan
ini Ibnu Hazm dan Fuqaha Malikiyyah tidak memperbolehkannya secara mutlak dangan alasan bahwa Allah Swt.
sudah menghapus wasiat
melalui ayat waris. Para ahli hukum mazhab Syi’ah Ja’fariah menyatakan bahwa
wasiat kepada ahli waris yang menerima warisan itu adalah boleh dan dibenarkan,
dasarnya adalah Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat (180). Sedangkan para ahli
hukum Islam di kalangan mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Maliki mengatakan bahwa
wasiat kepada ahli waris dan ahli waris lainnya menyetujuinya adalah
diperbolehkan dengan dasar hadis yang diriwayatkan oleh Al Daruquthni yang
menyatakan bahwa tidak sah wasiat kepada ahli waris kecuali ahli waris lainnya
menyetujuinya.21 Ahli hukum Islam di kalangan mazhab Imamiyah mengatakan bahwa
wasiat boleh untuk ahli waris maupun bukan ahli waris, dan tidak tergantung
pada persetujuan para ahli waris lainnya sepanjang tidak melebihi sepertiga
harta warisannya. Dalam Pasal 195 Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia dikemukakan bahwa wasiat kepada ahli waris hanya
berlaku bila disetujui semua ahli waris, ini pun diperkenankan hanya sepertiga
dari seluruh harta warisan.
c.
Barang
yang Diwasiatkan
Barang yang diwasiatkan haruslah barang yang bisa dimiliki seperti harta, rumah
dan kegunaannya. Jadi, tidak sah mewasiatkan barang atau benda yang menurut
kebiasaannya tidak bisa dimiliki secara syari’ seperti minuman keras. Jadi,
pemilikan tidak bisa dilakukan berarti tidak ada wasiat. Mengenai jenis barang
yang diwasiatkan, para fuqaha telah sepakat tentang bolehnya mewasiatkan
barang pokoknya. Mereka berselisih pendapat tentang wasiat manfaat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, para ahli hukum Islam di kalangan amshar
mengemukakan bahwa perwasiatan manfaat itu boleh saja dilakukan.
Sedangkan Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah dan para ahli hukum Islam Zhahiri
berpendapat bahwa perwasiatan manfaat adalah batal. Mereka beralasan bahwa
manfaat itu adalah sama dengan harta. Sementara itu, para ahli hukum yang lain
beralasan bahwa manfaat itu akan berpindah kepada hak milik ahli waris karena
orang yang telah meninggal dunia itu tidak mempunyai hak milik. Oleh karena
itu, tidak sah memberikan wasiat dengan sesuatu yang terdapat pada milik orang lain. Sementara itu, Sayyid
Sabiq, menegaskan bahwa wasiat segala benda atau manfaat seperti buah dari
pohon atau anak dari satu hewan adalah sah, yang penting benda atau manfaat itu
dapat diserahkan kepada orang yang menerima wasiat pada saat orang yang memberi
wasiat meninggal dunia. Pendapat terakhir ini adalah sejalan dengan pendapat
mayoritas ahli hukum Islam (jumhur ulama) yang menyatakan bahwa manfaat dapat dikategorikan
sebagai benda, oleh karena itu, mewasiatkan manfaat saja hukumnya boleh.
Sehubungan dengan manfaat wasiat ini, para ahli hukum Islam berselisih
pendapat mengenai cara menentukan manfaat tersebut dikaitkan dengan
sepertiga harta warisan. Ahli hukum Islam di kalangan mazhab Hanafi, mengatakan
bahwa nilai manfaat suatu benda sama dengan nilai benda itu sendiri, baik
berupa manfaat dalam jangka waktu tertentu atau untuk selamanya. Jika seseorang
mewasiatkan penempatan rumah selama satu tahun atau lebih,
maka yang dinilai adalah harga rumah itu secara utuh. Jika harganya tidak lebih
dari itu wasiatnya dianggap batal. Sementara itu, ahli hukum Islam di kalangan
mazhab Syfi’i dan Hambali26 berpendapat bahwa nilai manfaat suatu benda
ditentukan terlepas dari nilai benda itu sendiri. Jika nilainya tidak lebih
dari sepertiga, maka wasiat itu berlaku secara utuh dan sekiranya tidak, maka
berlaku sampai batas sepertiga saja. Di kalangan mazhab Imamiyah27 berpendapat
bahwa jika manfaat yang diwasiatkan itu tidak bersifat selamanya, maka hal
tersebut tidak bersifat masalah sebab nilai suatu barang setelah dikurangi
manfaatnya untuk jangka waktu tertentu mudah diketahui, misalnya seseorang
mewasiatkan pemanfaatan sebidang kebun selama lima tahun, yang pertama
dilakukan adalah menilai harga kebun itu secara keseluruhan. Jika harganya
sepuluh ribu, maka harus dikurangi harga pemanfaatannya selama lima tahun, apabila harganya lima ribu,
maka yang lima ribu
itu adalah nilai wasiat itu. Sekiranya semuanya tercakup dalam sepertiga, maka
warisan dilaksanakan seperti wasiat, jika tidak, maka orang yang menerima
wasiat hanya boleh memanfaatkan senilai sepertiga harta warisan, misalnya satu
tahun atau lebih. Akan tetapi, jika manfaat bersifat selamanya, maka
nilainya ditetapkan dengan cara menetapkan harga kebun ditambah dengan
harga pemanfaatan untuk selamanya. Kemudian, dilaksanakan seperti pada
pemanfaatan berjangka.
Dalam Pasal 198 Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia disebutkan bahwa wasiat yang berupa hasil dari suatu benda atau
pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu. Pembatasan
seperti ini dimaksudkan untuk memudahkan tertib administrasi, karena melihat
substansi wasiat sesungguhnya adalah untuk jangka waktu yang lama.
Kemudian, dalam Pasal 200 Kompilasi Hukum Islam tersebut juga disebutkan bahwa
harta wasiat yang berupa barang yang tak bergerak bila karena suatu sebab yang
sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal
dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa. Selanjutnya
dalam Pasal 201 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa wasiat hanya dapat dibenarkan sepertiga
harta, apabila lebih
dari sepertiga harta harus ada persetujuan dari para ahli waris. Jika para ahli
waris yang ada tidak menyetujui wasiat melebihi dari sepertiga dari harta
warisan, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan.
Apabila wasiat tidak mencukupi, maka para ahli waris dapat menentukan kegiatan
mana yang didahulukan pelaksanaannya.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, nampaknya para ahli hukum Islam
di kalangan mahzab Imamiyah mempunyai wawasan yang luas tentang masalah wasiat
ini. Mereka memperbolehkan wasiat apa saja, yang mereka tidak
perbolehkan adalah dalam hal jual beli. Mereka juga memperbolehkan berwasiat
dengan barang yang belum ada tetapi diduga akan ada, atau tidak bisa diserahkan
oleh orang yang memberi wasiat seperti burung di udara, atau hewan yang lari,
atau juga barang-barang yang tidak diketahui secara rinci seperti sehelai
pakaian atau seekor binatang. Bahkan mereka memperkenankan orang yang memberi wasiat membuat pernyataan yang samar-samar,
misalnya si fulan, sesuatu, sedikit, banyak, sebagian dan sebagainya.
Semua yang tersebut ini tidak dibenarkan dalam jual beli tetapi diperbolehkan
dalam hal wasiat. Hal ini disebabkan karena sifat umum dari dalil-dalil
wasiat yang mencakup semua hal samar-samar dan juga setiap hal dan barang yang
dapat dialihkan kepemilikannya. Bahkan barangkali batasan tentang wasiat ini
menyangkut apa saja, kecuali jika diketahui sebaliknya yang keluar dari
kategori tersebut seperti minuman keras, babi, hukuman dari tuduhan zina dan
sebagainya.
d.
Pelaksanaan
Wasiat
Yang dimaksud dengan pelaksanaan wasiat adalah pernyataan pemberian dan
penerimaan wasiat. Sebenarnya tidak ada redaksi khusus untuk wasiat ini, wasiat
sah diucapkan dengan redaksi bagaimanapun yang bisa dianggap menyatakan
pemberian hak pemilikan secara sukarela sesudah seseorang meninggal dunia,
misalnya orang yang memberi wasiat mengatakan “aku wasiatkan barang anu untuk
si fulan”, maka ucapan itu sudah menyatakan adanya wasiat. Dalam keadaan
seperti ini tidak diperlukan qabul sebab wasiat itu mempunyai dua arah,
yaitu pada saat suatu kondisi ia mirip dengan hibah dan oleh karena itu perlu
adanya qabul, pada kondisi yang lain ia seperti barang warisan sehingga
kalau ada kesulitan tidak perlu adanya ijab qabul.
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis mengatakan bahwa dalam
pelaksanaan wasiat yang mensyaratkan harus ada ijab qabul secara tegas dan pasti
terlampau mengada-ada. Dalam Al-Qur’an dan hadis yang berkenaan
dengan masalah wasiat ini sudah jelas tergambar bahwa tidak mesti ada qabul dari
pihak penerima wasiat. Sebab bagaimana mungkin ijab qabul dilaksanakan
kalau seandainya penerima wasiat itu tidak ada di tempat, misalnya dalam
keadaan orang yang memberi wasiat itu dalam perjalanan atau dapat saja orang
yang memberi wasiat itu tiba-tiba meninggal dunia, mungkin juga ia meninggal
dunia dalam keadaan tidur, apakah wasiat yang dibuat oleh orang tersebut tidak
sah ? Jadi sah-sah saja wasiat itu dilaksanakan hanya dengan ijab saja
tanpa qabul, apakah dalam bentuk lisan atau tertulis asalkan saja
pernyataan wasiat itu dihadiri oleh saksi-saksi yang cukup. Perlu diketahui juga
bahwa wasiat ini adalah merupakan perbuatan hukum secara sepihak bukan
perbuatan hukum dua pihak. Jadi dapat saja wasiat dilaksanakan
tanpa dihadiri oleh penerima wasiat, bahkan dapat saja dilakukan dalam
bentuk tertulis. Alangkah lebih baik lagi kalau wasiat itu dilaksanakan
secara notarial dalam bentuk akta di hadapan notaris atau disimpan dalam
protokol notaris.
Imam Malik mengatakan bahwa qabul dari orang yang menerima wasiat
merupakan syarat sahnya wasiat, karena hal ini disamakan dengan hibah. Tetapi
Imam Syafi’i mengatakan bahwa qabul dalam pelaksanaan wasiat bukanlah
suatu syarat sahnya wasiat. Abu Hanifah dan murid-muridnya seperti Abu Yusuf,
Hasan al-Syaibani memandang bahwa qabul itu harus ada dalam pelaksanaan
wasiat, sebab tindakan wasiat itu merupakan ikhtiariah. Oleh karena itu,
pernyataan qabul sangatlah penting artinya dalam pelaksanaan
wasiat sebagaimana juga dalam transaksi lainnya.
Sayyid Sabiq mengemukakan jika wasiat yang dilaksanakan itu tidak tertentu
seperti wasiat untuk masjid, tempat pengungsian atau rumah sakit, maka wasiat
yang demikian itu tidak perlu adanya qabul, cukup dengan ijab saja dari orang
yang memberi wasiat, sebab wasiat yang demikian ini sama saja dengan sedekah.
Apabila wasiat itu ditujukan kepada orang tertentu, maka pelaksanaan wasiat itu
memerlukan qabul dari orang yang menerima wasiat setelah orang yang
memberi wasiat itu meninggal dunia atau qabul dari walinya apabila orang
yang diberi wasiat tersebut belum mempunyai kecerdasan yang memadai. Jika
wasiat itu diterima, maka terjadilah wasiat itu, sebaliknya jika ia menolak
setelah pemberi wasiat meninggal dunia, maka batallah wasiat itu dan
barang-barang yang diwariskan itu tetap menjadi milik dari ahli waris orang
yang memberi wasiat. Oleh karena itu, wasiat ini merupakan perbuatan
hukum sepihak, maka wasiat itu sewaktu-waktu dapat dicabut
kembali. Pencabutannya harus diucapkan dengan jelas, dan dapat pula dengan tindakan
seperti menjual benda atau yang telah diwasiatkan itu.
Tentang pelaksanaan wasiat bagi orang yang sakit berkepanjangan, para
ahli hukum Islam di kalangan mahzab Imamiyah, Syafi’i dan Maliki menyatakan
bahwa sah wasiat yang dilaksanakan dengan bahasa isyarat asalkan dapat
dimengerti. Jika wasiat itu ditulis dengan tulisan tangan yang menderita sakit,
dan diketahui betul bahwa tulisan itu ditulis oleh orang yang menderita sakit
tetapi waktu dibuat wasiat itu tidak ada orang lain yang menyaksikan, maka
tulisan itu tidak dapat dijadikan dasar hukum terhadap pelaksanaan wasiat
meskipun diketahui dengan betul bahwa tulisan itu dibuat oleh orang yang
menderita sakit itu. Para ahli hukum Islam di kalangan mahzab Hambali32
berpendapat bahwa wasiat yang demikian itu dapat dijadikan dasar hukum
sepanjang tidak diketahui bahwa orang yang menderita sakit itu telah membatalkan
wasiat yang ditulis itu. Sedangkan ahli hukum Islam di kalangan mahzab
Imamiyah33 mengatakan bahwa wasiat itu dapat saja dilaksanakan dengan tulisan,
bahkan justru hal yang paling baik yang harus dilaksanakan oleh seseorang yang
hendak melaksanakan wasiat. Sebagaimana diketahui bahwa tulisan itu adalah
bukti lahiriah dari suatu, bahkan bukti tulisan itu dapat dijadikan petunjuk (qarinah)
yang lebih kuat dari bukti-bukti yang lain dalam masalah pembuktian suatu
permasalahan.
Dalam konteks kehidupan globalisasi seperti sekarang ini, tentang pelaksanaan
wasiat sebagaimana tersebut di atas itu tentu sangat diperlukan karena adanya
kepastian hukum dalam pengalihan harta melalui wasiat ini. Pasal 195 ayat
(1) Kompilasi Hukum Islam menetapkan perlunya pengaturan tentang wasiat
dengan bukti-bukti yang autentik, yaitu dilaksanakan secara lisan di
hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan
notaris. Kemudian dalam Pasal 203 ayat (1) dikemukakan pula bahwa apabila
surat wasiat dibuat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya
dilakukan di tempat notaris yang membuatnya atau disimpan dalam protokol
notaris. Hal ini penting karena implikasi dari pelaksanaan wasiat ini sangat
berpengaruh kepada pelaksanaan perpindahan hak milik seseorang kepada orang
lain secara permanen yang harus diperlukan adanya kepastian hukum, keadilan dan
bermanfaat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan wasiat tersebut.
Upaya penyaksian wasiat sebagaimana yang telah dikemukakan, dimaksud agar realisasi wasiat setelah
orang yang memberi wasiat meninggal dunia dapat berjalan lancar. Hal ini
karena misi wasiat ini sangat positif dalam kehidupan masyarakat, terlebih lagi
jika wasiat ditujukan kepada lembaga sosial keagamaan dan kemasyarakatan.
3. Persinggungan Wasiat Wajibah dengan
Hukum Waris Islam
Menurut konsep hukum kewarisan Islam, jika ahli waris dengan bagian
yang tidak ditentukan secara keseluruhan ada, maka kedudukan ahli waris yang berhak
dan bagiannya masing-masing adalah : (1) anak laki-laki dan anak perempuan
secara bersama-sama menerima sisa harta warisan, (2) ayah berhak atas seperenam
bagian dari harta warisan karena ada anak, (3) ibu, berhak atas seperenam
bagian dari harta warisan karena ada anak, (4) janda, berhak atas seperdelapan
bagian dari harta warisan karena ada anak, (5) duda, berhak atas seperempat
bagian dari harta warisan karena ada anak.
Dari perincian ahli waris dan bagiannya masing-masing sebagaimana tersebut di
atas, terlihat bahwa ada di antara ahli waris dengan kedudukan tertentu dan bagian yang
telah pasti, ada di antara mereka ahli waris yang tidak disebutkan bagian secara
pasti, seperti anak laki-laki dan saudara laki-laki kandung atau seayah. Di
samping dua kelompok ahli waris tersebut di atas, terdapat juga beberapa ahli
waris yang dikategorikan sebagai ahli waris dengan menempati penghubung yang
sudah meninggal, seperti cucu, ayah diperluas kepada kakek, ibu diperluas
kepada nenek, saudara diperluas kepada sanak saudara. Sehingga mereka menjadi
ahli waris sebagai ahli waris pengganti. Persoalan ahli waris ini merupakan
masalah yang sering diperdebatkan para ahli hukum Islam, termasuk di Indonesia
sampai lahirnya Kompilasi Hukum Islam. Sebagian mereka mengatakan
bahwa ahli waris pengganti ini dapat saja mendapat warisan dengan dasar wasiat
wajibah.
Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai
aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang
telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan
tertentu pula. Dalam versi ini dikemukakan bahwa wasiat wajibah adalah wasiat
yang dipandang sebagai telah dilakukan oleh seseorang yang akan meninggal
dunia, walaupun sebenarnya ia tidak ada meninggalkan wasiat itu. Misalnya,
dalam suatu peristiwa, seseorang yang meninggal dunia tidak meninggalkan wasiat
terhadap keturunan dari anak laki-laki yang telah meninggal dunia di waktu si
mati masih hidup atau mati bersama yang disebabkan oleh suatu peristiwa
tertentu, maka wajiblah wasiat wajibah untuk keturunan dari anak laki-laki tersebut,
dari harta peninggalan ayahnya menurut ketentuan bagian anak laki-lakinya yang meninggal
dunia itu.
Dasar hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari pendapat-pendapat ulama salaf dan
khalaf. Menurut Fatchur Rahman dijelaskan : (1) tentang kewajiban berwasiat
kepada kerabat-kerabat yang tidak menerima pusaka ialah diambil dari
pendapat-pendapat Fuqaha dan Tabi’in besar ahli hukum Islam (fiqih) dan ahli
hadis, antara lain, Said Ibnu al Musayyah, Hasan al Basry, Tawus, Ahmad, Ishaq
Ibnu Rahawaih dan Ibnu Hazm, (2) pemberian sebagian harta peninggalan si mati
kepada kerabat-kerabatnya yang tidak menerima pusaka yang berfungsi sebagai
wasiat wajibah, bila si mati tidak berwasiat adalah diambil dari pendapat Ibnu
Hazm yang dinukilkan dari Fuqaha Tabi’in dan pendapat Imam Ahmad, (3)
pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu
dan pembatasan penerimaan sebesar sepertiga peninggalan adalah didasarkan
pendapat Ibnu Hazm dan kaidah syari’ah yang mengatakan bahwa pemegang kekuasaan
mempunyai wewenang memerintahkan perkara yang diperbolehkan karena ia
berpendapat bahwa hal itu akan membawa kemaslahatan umum, bila penguasa
menetapkan demikian maka wajib ditaati.
Lebih lanjut Fatchur Rahman mengemukakan bahwa wasiat wajibah ini muncul
karena : (1) hilangnya unsur ikhtiar bagi orang yang memberi wasiat dan munculnya
kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung
kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan orang yang menerima wasiat, (2)
ada kemiripan dengan ketentuan pembahagian harta pusaka dalam penerimaan
laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, (3) orang yang berhak menerima
wasiat wajibah adalah cucu-cucu laki-laki maupun perempuan, baik pancar
laki-laki maupun pancar perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau
bersama-sama dengan kakek atau neneknya.37 Wasiat wajibah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Fatchur Rahman ini mempunyai titik singgung yang sangat erat
dengan hukum kewarisan Islam yang apabila dilaksanakan akan menimbulkan banyak
persoalan yang memerlukan solusi penyelesaiannya dengan sebaik-baiknya agar
prinsip keadilan dan kemanusiaan dapat ditegakkan sebagaimana yang dikehendaki
oleh hukum kewarisan itu sendiri.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa
cara pemecahan persoalan-persoalan yang menyangkut wasiat wajibah karena adanya
titik singgung dalam rangka pelaksanaan hukum kewarisan Islam, yaitu : (1) anak
laki-laki yang telah mati dikala salah seorang dari kedua orang tuanya masih
hidup, maka anaknya yang telah mati tersebut dianggap masih hidup dan bagian
warisan yang diterima adalah sama seperti ia masih hidup, (2) bagian orang yang
mati tadi dikeluarkan dari harta peninggalan, dan selanjutnya diberikan kepada
keturunannya yang berhak untuk memperoleh wasiat wajibah tersebut, bila wasiat
wajibah tersebut sama dengan sepertiga dari harta peninggalannya atau lebih
kecil dari itu. Seandainya lebih dari sepertiga, maka dikembalikan kepada
sepertiga, kemudian dibagi-bagikan kepada anak-anaknya, dengan pertimbangan
bagian laki-laki dua kali lebih besar dari bagian anak perempuan, (3) setelah
itu, barulah sisa harta peninggalan dibagikan si pewaris (setelah dikurangi
wasiat wajibah tersebut) dibagi sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam.
Dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
mempunyai ketentuan tersendiri tentang konsep wasiat wajibah ini, yaitu membatasi
orang yang berhak menerima wasiat wajibah ini hanya kepada anak angkat dan
orang tua angkat saja. Dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam disebutkan
bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan
Pasal 193. Terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberikan
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.
Sedangkan terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya.
Tidak diketahui pasti, mengapa Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merubah
konsep wasiat wajibah ini hanya terbatas kepada anak angkat dan orang tua anak
angkat saja. Mungkin ini terpengaruh dengan pewarisan melalui lembaga plaatsverfulling
dalam hukum perdata ini ketentuan dari ahli waris yang telah meninggal
dunia lebih dahulu masuk dalam hubungan hukum yang sama seperti orang yang
masih hidup.
Secara garis besar antara waris pengganti (penggantian kedudukan) dengan wasiat
wajibah adalah sama. Perbedaannya, jika dalam wasiat wajibah dibatasi
penerimaannya, dalam waris pengganti adalah menggantikan hak sesuai dengan hak yang
diterima orang yang digantikan itu. Jadi, wasiat wajibah ini dapat berfungsi
sebagai alat untuk pengalihan hak secara waris kepada orang yang tidak
ditentukan sama sekali bagian pihak yang menerima wasiat itu, dapat pula berfungsi
sebagai ahli waris pengganti dalam kapasitasnya menggantikan kedudukan orang
yang berhak menerima waris tetapi ia lebih dahulu meninggal dunia dari pada
orang yang menggantikan kedudukannya. Jika wasiat wajibah berfungsi sebagai
penggantian tempat ahli waris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, maka
Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 185 menetapkan bahwa ahli waris yang
meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat
diganti oleh anaknya, kecuali mereka dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat pada si pewaris, atau juga dipersalahkan secara
memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat. Selain itu, Kompilasi Hukum Islam juga menetapkan
bahwa bagian ahli waris pengganti itu tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat yang diganti. Jika wasiat wajibah berfungsi sebagai
pengalihan hak kepada orang yang bukan ahli waris sebagaimana yang ditentukan
oleh hukum waris Islam, maka Kompilasi Hukum Islam menetapkan batasan
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya atau sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan orang tua.
Oleh karena wasiat wajibah ini mempunyai titik singgung secara
langsung dengan hukum kewarisan Islam, maka pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan
hakim dalam menetapkannya dalam proses pemeriksaan perkara waris yang diajukan
kepadanya. Hal ini penting diketahui oleh hakim karena wasiat wajibah itu
mempunyai tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu memberikan bagian
kepada ahli waris yang mempunyai pertalian darah, namun nash tidak memberikan
bagian yang semestinya, atau orang tua angkat dan anak angkat yang mungkin
sudah sangat berjasa kepada si pewaris tetapi tidak diberi bagian dalam
ketentuan hukum waris Islam, maka hal ini dapat dicapai jalan keluar dengan
menerapkan wasiat wajibah sehingga mereka dapat menerima bagian dari
harta si pewaris. Oleh karena itu, para hakim sangat diharapkan agar dalam
memeriksa perkara waris ini harus betul-betul memperhatikan nilai-nilai moral
yang hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian hakim dapat merubah
dirinya dari bauche de la loi menjadi eageniur social yang
menerapkan hukum sesuai dengan prinsip keadilan dan kemanfaatan, serta adanya
kepastian hukum terhadap perkara yang diputusnya.
4. Batas Wasiat dan Hubungannya dengan
Kewarisan Islam
Mengenai pentingnya batas wasiat dan hubungannya dengan hukum kewarisan
Islam adalah untuk mengetahui sejauh mana hak dari ahli waris yang berlaku
dalam batas sepertiga dari harta warisan tersebut, jika terdapat semua ahli waris
yang berhak mewarisi. Apabila melebihi sepertiga harta warisan, para ahli hukum Islam di
semua mazhab sepakat bahwa hal itu harus ada izin dari para ahli waris.
Sekiranya semuanya mengizinkan, maka wasiat si pewaris itu sah, tetapi jika mereka
menolak, maka wasiat itu batal. Jika sebahagian mereka setuju dan sebahagian
lagi tidak setuju atas kelebihan sepertiga wasiat itu, maka kelebihan dari
sepertiga itu dikeluarkan dari harta yang mengizinkan dan izin seorang ahli waris
itu baru berlaku kalau ia berakal sehat, telah baligh dan mempunyai kecerdasan
untuk itu. Apabila para ahli waris telah memberi izin, maka mereka tidak berhak
untuk menarik kembali, baik izin itu diberikan pada saat pemberi wasiat itu
masih hidup ataupun sesudah meninggal dunia terhadap wasiat itu tidak boleh
diganggu gugat lagi.
Para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Hanafi, Syafi’i, dan
Hambali mengatakan penolakan ataupun izin itu hanya berlaku sesudah orang yang memberi
wasiat itu meninggal dunia. Jika mereka memberi izin ketika dia masih hidup,
kemudian berbalik pikiran dan menolak melakukan wasiat setelah orang yang
berwasiat meninggal dunia, mereka berhak melakukan hal yang demikian itu kapan
saja, baik izin itu mereka berikan di kalangan orang yang memberi wasiat itu
sehat atau dalam keadaan sakit. Ahli hukum Islam di kalangan mazhab Maliki mengatakan
bahwa jika mereka ketika pemberi wasiat berada dalam keadaan sakit, mereka
tidak boleh menolak melakukannya. Tetapi jika mereka memberikan izin
ketika ia sehat, maka kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari hak waris
mereka, dan mereka tidak boleh menolaknya.
Semua ahli hukum Islam (semua mazhab) sepakat bahwa tidak boleh dilaksanakan
pewarisan atau wasiat sebelum hutang-hutang si mayit diselesaikan terlebih
dahulu. Jumlah sepertiga harta warisan yang dikeluarkan untuk wasiat itu tidak termasuk
hutang. Para ahli hukum Islam berselisih pendapat mengenai saat penghitungan
kadar sepertiga itu, apakah sepertiga saat wafatnya si mayit ataukah pada saat
pembagian harta warisannya. Terhadap hal ini, para ahli hukum Islam di kalangan
mazhab Hanafi41 mengatakan bahwa jumlah sepertiga itu dihitung pada saat harta
warisan dibagikan dan di setiap penambahan atau kekurangan dari harta
peninggalan si pewaris berpengaruh pada penerimaan ahli waris dan penerima
wasiat. Imam Malik mengatakan dihitung dari sebatas harta yang dapat diketahui
saja. Sedangkan Umar Ibn Abdul Aziz menegaskan bahwa sepertiga
dihitung dari seluruh harta peninggalan sejak wasiat dilakukan. Ahmad Ibnu Hambal dan
Imam Syafi’i mengatakan bahwa sepertiga wasiat tersebut dihitung saat
meninggalnya orang yang memberi wasiat. Para ahli hukum Islam di kalangan
mazhab Imamiyah45 mengatakan bahwa hal ini dihitung pada saat pembagian harta
warisan dilaksanakan dari semua harta yang menjadi milik si pewaris. Jika ada
tambahan dari harta si pewaris setelah ia meninggal dunia, maka semua harta
tambahan itu digabungkan dengan harta yang sudah ada dan dikeluarkan
sepertiga dari padanya untuk kepentingan wasiat.
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli
waris tidak
dibenarkan memberikan wasiat lebih dari sepertiga dari harta yang dimilikinya.
Tetapi mereka masih berbeda pendapat tentang orang yang tidak meninggalkan
ahli waris, apakah wasiatnya tetap sepertiga hartanya ataukah kurang dari
itu. Dalam hal yang demikian ini Imam Malik dan al Auza’I mengatakan
bahwa wasiat tetap dikeluarkan sepertiga dari harta si pewaris, tidak boleh lebih
dari itu. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Ishak mengatakan bahwa boleh saja
wasiat dilaksanakan lebih dari sepertiga dari harta yang dimilikinya jika ia
tidak meninggalkan ahli waris. Terhadap dua pendapat yang berbeda ini,
mayoritas para ahli hukum Islam mengatakan bahwa wasiat sepertiga harta dalam
keadaan apa pun adalah lebih utama (mustahab) sebagaimana disabdakan Rasulullah
Saw., bahwa Allah Swt. menjadikan untukmu dalam wasiat hanya sepertiga dari
harta yang kalian miliki dan itu adalah sebagai penambah amalan-amalan kalian.
Jika terjadi perbenturan satu wasiat dengan wasiat yang lain,
padahal diwasiatkan oleh orang yang sama, sehingga jumlah sepertiga harta
peninggalan tidak cukup untuk memenuhi wasiat tersebut, sedangkan para ahli
waris tidak berkenan memberi lebih dari sepertiga dari harta si pewaris, maka
hukumnya bagaimana jika dihubungkan dengan hukum kewarisan Islam ? Para ahli
hukum di kalangan mazhab Maliki, Hanafi, dan Syafi’i48 mengatakan bahwa harta sepertiga
itu dibagi antara mereka sesuai dengan jumlah wasiat masing-masing, dengan
catatan masing-masing mereka ini menanggung risiko pengurangan sesuai dengan
bagiannya. Sementara itu, para ahli hukum di kalangan mazhab Imamiyah mengemukakan
bahwa jika terjadi perbenturan wasiat yang diucapkan oleh pemberi wasiat, maka
yang dilaksanakan adalah ucapan orang yang menyatakan wasiat itu yang paling
akhir diucapkannya, wasiat yang terdahulu diucapkan dipandang terhapus dengan
wasiat yang datangnya kemudian. Jika di antara wasiat-wasiat itu ada yang
sifatnya wajib dan ada yang bersifat tidak wajib, maka yang di dahulukan adalah wasiat yang
bersifat wajib. Imam Malik dalam satu riwayatnya mengatakan bahwa wasiat-wasiat
yang melebihi ukuran sepertiga dari jumlah harta, jika wasiat-wasiat itu
memiliki kedudukan yang sama, maka wasiat-wasiat tersebut dikeluarkan dari
sepertiga harta itu dengan menggunakan perimbangan, apabila salah satunya lebih
penting, maka yang lebih penting itu harus diutamakan atau didahulukan.
Menurut para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Imamiyah, Syafi’I dan
Hambali apabila orang yang meninggal dunia punya kewajiban zakat, kafarat, haji
atau kewajiban-kewajiban lainnya yang menyangkut harta, maka kewajiban tersebut
dikeluarkan dari harta peninggalannya, bukan dari sepertiganya, baik dia
berwasiat tentang kewajiban tersebut ataupun tidak, sebab kewajiban tersebut
adalah hak Allah dan hak ini paling utama dilaksanakan sebagaimana tersebut
dalam hadis. Tetapi, jika ia berwasiat tentang kewajiban tersebut dan menunjuk
dananya dari sepertiga harta warisan, maka kewajiban tersebut dilaksanakan
sesuai dengan apa yang diwasiatkan. Para ahli hukum Islam di kalangan mazhab
Hanafi dan Maliki52 mengatakan bahwa jika orang yang meninggal dunia berwasiat
tentang kewajiban yang harus dipenuhi berkenaan dengan hak Allah Swt., maka
dananya diambil dari sepertiganya, bukan dari harta peninggalan. Sekiranya
orang yang meninggal dunia itu tidak berwasiat apa-apa tentang kewajibannya
kepada Allah Swt., maka kewajibannya itu gugur dengan meninggalnya.
Ketentuan yang menetapkan bahwa wasiat hanya dibenarkan maksimal sepertiga harta
yang dimiliki pewaris adalah sejalan dengan apa yang telah ditetapkan oleh
Kompilasi Hukum Islam. Dalam Pasal 201 Kompilasi ditegaskan bahwa wasiat
tidak boleh lebih dari sepertiga harta yang dimilik si pewaris. Apabila wasiat
melebihi sepertiga dari harta yang dimiliki itu, maka harus ada persetujuan
ahli waris, jika mereka tidak menyetujuinya, maka wasiat harus dilaksanakan
hanya sampai batas sepertiga saja dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan
oleh pewaris. Meskipun Kompilasi tidak menetapkan secara tegas masa
penghitungan sepertiga wasiat, tetapi secara tersirat dapat ditegaskan bahwa sepertiga harta
tersebut dihitung dari semua harta peninggalan pada saat kematian orang yang
berwasiat. Penegasan ini penting sebab tidak jarang wasiat itu terjadi jauh
hari sebelum orang yang memberi wasiat itu meninggal dunia, sehingga banyak
terjadi penyusutan atau penambahan harta milik orang yang memberi wasiat pada
saat ia meninggal dunia. Selain dari itu, Pasal 200 Kompilasi memberi
penjelasan bahwa harta wasiat yang berupa barang tak bergerak bila karena suatu
sebab yang sah mengalami penyusutan, atau kerusakan yang terjadi sebelum
pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta
tersisa.
5. Pencabutan dan Pembatalan Wasiat
Serta Hubungannya dengan Kewenangan Peradilan Agama
Dalam syari’at Islam, wasiat tidak harus dituangkan dalam suatu
testamen yang dibuat di
hadapan notaris sebagaimana yang dilaksanakan dalam hukum perdata. Oleh
karena itu, setiap orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa
adanya paksaan dapat dengan mudah mewasiatkan sebagian hartanya untuk orang
lain atau untuk suatu lembaga atau kepada ahli warisnya yang lain. Pernyataan
dari ahli waris yang menyetujui ini harus diucapkan secara lisan atau dapat secara
tertulis di hadapan dua orang saksi, atau dibuat di hadapan notaris. Dalam surat
wasiat baik yang dibuat secara tertulis, maupun secara lisan, harus diterangkan
dengan jelas dan tegas siapa-siapa saja, atau lembaga mana saja yang ditunjuk untuk
menerima harta yang diwasiatkan itu.
Wasiat itu bukan suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh
seorang untuk memberi
wasiat atau menerima wasiat. Oleh karena itu, orang yang memberi wasiat itu
boleh saja menarik kembali wasiat yang telah dinyatakan, baik itu wasiat yang
berkenaan dengan harta, manfaat ataupun hal yang berkenaan dengan kekuasaan
atau wilayah. Pencabutan kembali wasiat itu dapat dilaksanakan dengan lisan
ataupun dengan perbuatan, seperti seseorang mewasiatkan sebidang tanah untuk
orang lain, kemudian orang yang mewasiatkan itu menjual tanah tersebut kepada
pihak lain lagi tanpa memberitahukan kepada orang yang telah menerima wasiat
itu. Terhadap yang terakhir ini, Imam Hanafi mengatakan bahwa menjual barang
wasiat secara sepihak seperti itu, tidak dianggap menarik kembali wasiat yang
telah diberikannya, si penerima wasiat berhak menerima harga barang wasiat yang
telah dijual itu. Menyangkut hal ini, Sayyid Sabiq54 mengatakan bahwa wasiat
itu termasuk ke dalam perjanjian yang dibolehkan oleh hukum, tetapi dalam
perjanjian itu orang yang memberi wasiat boleh saja mengubah wasiatnya, atau
menarik kembali apa yang dikehendaki dari wasiatnya, atau menarik kembali apa
yang diwasiatkan itu baik secara lisan maupun secara perbuatan.
Dalam Pasal 199 Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia ditegaskan bahwa : (1) pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama
calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau menyatakan
persetujuannya tetapi menarik kembali, (2) pencabutan wasiat dapat dilakukan
secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan
oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris, (3) bila wasiat dilakukan
secara tertulis, maka pencabutan hanya dapat dilakukan secara tertulis dengan dua
orang saksi atau dengan akta notaris, (4) apabila wasiat dilakukan dengan akta
notaris, maka pencabutan hanya dapat dilakukan secara tertulis dengan akta
notaris. Kemudian dalam Pasal 203 ayat (2) dikemukakan bahwa apabila wasiat
yang telah dilaksanakan itu dicabut, maka surat wasiat yang dicabut itu
diserahkan kembali kepada pewasiat. Tampaknya dalam masalah pencabutan
wasiat yang dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Islam ini lebih banyak
menyangkut persoalan administratifnya, bukan masalah substansinya.
Dalam rumusan fiqih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja
batal jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang
memberi wasiat itu tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat
itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga bisa batal jika
orang yang menerima wasiat itu lebih dahulu meninggal dunia dari pada orang
yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang diwasiatkan itu
musnah sebelum barang tersebut diterima oleh orang yang menerima wasiat.
Sehubungan dengan pembatalan wasiat ini, Sayyid Sabiq merumuskan hal-hal yang
membatalkan wasiat yaitu jika orang yang memberi wasiat itu menderita sakit
gila hingga meninggal dunia, jika orang yang menerima wasiat itu meninggal
dunia sebelum orang yang memberi wasiat meninggal dunia, dan jika benda yang
diwasiatkan itu rusak sebelum diterima oleh orang atau badan yang menerima
wasiat itu. Sementara itu, Peunoh Daly sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rofiq
memerinci hal-hal yang menjadikan wasiat itu batal yaitu : (1) yang menerima
wasiat dengan sengaja membunuh pemberi wasiat, (2) yang menerima wasiat
meninggal lebih dahulu dari si pemberi wasiat, (3) yang menerima wasiat menolak
wasiat yang diberikan itu sesudah meninggalnya si pemberi wasiat, (4) barang
yang diwasiatkan itu ternyata kemudian bukan milik yang berwasiat, (5) yang
berwasiat menarik kembali wasiatnya, (6) yang memberi wasiat hilang
kecakapannya dalam melakukan perbuatan hukum karena gila terus menerus sampai
meninggal dunia.
Dalam Pasal 197 ayat (1) Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam ditegaskan bahwa wasiat bisa dibatalkan apabila calon penerima wasiat
berdasarkan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum
karena : (1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat si pewasiat, (2) dipersalahkan secara memfitnah telah membuat pengaduan
bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman lima tahun
penjara atau lebih, (3) dipersalahkan telah dengan kekerasan dengan ancaman
mencegah pewasiat untuk membuat atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon
penerima wasiat, (4) dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau
memalsukan surat wasiat dari orang yang memberi wasiat. Kemudian dalam Pasal
197 ayat (2) Kompilasi tersebut dikemukakan bahwa wasiat menjadi batal apabila
calon penerima wasiat ; (1) tidak mengetahui adanya wasiat sampai ia meninggal
dunia sebelum meninggalnya pewasiat, (2) mengetahui adanya wasiat tersebut,
tetapi ia menolak menerimanya, (3) mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia
tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum
meninggalnya si pewasiat. Wasiat bisa menjadi batal jika barang yang
diwasiatkan musnah. Selanjutnya dalam Pasal 207 Kompilasi Hukum Islam
dikemukakan bahwa wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan
pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan
kerohanian sewaktu ia menderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan
dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa. Kemudian dalam Pasal 208 juga
disebutkan bahwa wasiat tidak berlaku lagi bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta
wasiat. Pelarangan pemberian wasiat kepada orang yang tersebut dalam Pasal 207 dan
Pasal 208 Kompilasi karena mereka terlibat langsung dalam pelaksanaan wasiat
tersebut sehingga
dikhawatirkan terjadi penyimpangan dalam pembuatannya.
Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama ditetapkan
bahwa perselisihan tentang wasiat menjadi kewenangan Peradilan Agama untuk menyelesaikannya.
Oleh karena itu, permohonan pembatalan wasiat ini diajukan ke Pengadilan Agama
oleh para pihak yang merasa dirugikan dengan adanya wasiat tersebut dengan
menyebutkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum sebagaimana yang tersebut
di atas. Pengadilan Agama akan memeriksa gugatan pembatalan tersebut dan memutuskan sebagaimana mestinya.
Dalam praktik Peradilan Agama banyak ditemukan gugatan yang berhubungan dengan wasiat
oleh pencari keadilan dengan alasan wasiat telah melebihi sepertiga dari harta
pewaris, atau si pewaris telah memberi wasiat semua hartanya kepada anak angkat
sehingga ahli waris yang berhak tidak mendapat bagian, atau sebaliknya anak
angkat menggugat ahli waris karena wasiat yang diberikan oleh bapak angkatnya
saat ini dikuasai oleh ahli waris. Kebanyakan pelaksanaan wasiat itu dilaksanakan
sebelum berlakunya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 yang telah dirubah
dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan
Kompilasi Hukum Islam dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 oleh penggugat
dianggap telah terbuka peluang untuk mengajukan gugatan tentang pembatalan
wasiat ke Pengadilan Agama. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, para
praktisi hukum di lingkungan Peradilan Agama dituntut untuk lebih hati-hati dalam
memeriksa perkara wasiat ini, sebab wasiat yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama belum menjadi kewenangan Peradilan
Agama untuk mengadilinya.
D. PENUTUP
Mengingat sering terjadi dalam masyarakat tindakan perorangan
terhadap harta waris yang cenderung ingin mendapatkan bagian yang
sebanyak-banyaknya tanpa memedulikan kepentingan orang lain yang seharusnya
mendapat santunan atau bahagian sebagaimana mestinya, maka syari’at Islam dalam
pelaksanaan hukum kewarisan, hibah, dan termasuk wasiat sangat
mengutamakan kedudukan yang seimbang antara hak dan kewajiban sehingga
tidak ada hak yang dikurangi dan dilebihkan tanpa memperhatikan kemaslahatan
kepada semua pihak di dalam keluarga orang yang meninggal itu.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dalam pembinaan hukum kewarisan
Islam berdasarkan asas-asasnya, maka wasiat perlu dipertimbangkan, karena dapat
memberikan kesejahteraan hidup antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga,
sehingga tidak terjadi perpecahan yang berkelanjutan. Pembagian harta waris dalam
Islam tidak hanya ditujukan kepada seseorang tertentu dalam keluarga tanpa memberi
kepada anggota keluarga yang lain, tetapi juga menyangkut hak-hak orang lain.
Oleh karena itu, lembaga wasiat yang ada dalam syariat Islam perlu dilestarikan
keberadaannya dengan pelaksanaan yang sebaik-baiknya demi terwujudnya
kemaslahatan anggota keluarga si pewaris dalam hidup bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Penerbit Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
Bahder Johan Nasution, dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam,
Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1997.
Bismar Siregar, Perkawinan, Hibah dan Wasiat Dalam
Pandangan Hukum Bangsa, Bagian penerbitan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1985.
Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Eman Suparman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, Penerbit
Mandar Maju, Bandung, 1991.
Fatchtur Rahman, Ilmu Waris, Penerbit Pustaka al Ma’arif,
Bandung, Cet. Ke-2, 1981.
Gregor Van der Burght, Hukum Waris, Terjemahan oleh F.
Tengker, Buku ke-2, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Idris Dja’far dan Taufiq Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam,
Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Penerbit Rineka
Cipta, Jakarta, 1991.
Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum,
Penerbit Pioner Jaya, Bandung, 1987.
Komentar
Posting Komentar