KOMPONEN-KOMPONEN SISTEM HUKUM
PERASAAN DAN KESADARAN HUKUM
MAKALAH – III
Disusun
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sosiologi Hukum
Dosen Pengampu: Drs. Asro
Oleh:
Kelompok 1
Muhammad Aceng. S (1143010059)
Khaerul Anwar (1143010055)
AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016 M / 1437 H
BAB I
PEDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Membangun dan merealisasikan hukum dalam kehidupan masyarakat sudah
pasti akan dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang disebabkan oleh faktor
internal maupun eksternal masyarakat itu sendiri. Padahal hukum akan menjadi
baik apabila masyarakat menerimanya dengan sukarela. Sebaliknya, hukum akan
menjadi buruk apabila masyarakat tidak dapat menerimanya, karena tidak dapat
menjaga kepentingan masyarakat. Dengan demikian hukum dan kepentingan
masyarakat harus memiliki keseimbangan, dalam arti bahwa hukum diciptakan untuk
melindungi kepentingan masyarakat.
Sosiolog memandang hukum sebagai sebuah produk budaya. Hukum
hanyalah benda mati, yang tiada artinya jika tidak dibuat dengan kesadaran akan
urgensinya dan ketulusan untuk melaksanakannya. Hukum hanya akan jadi lelucon
dan lawakan apabila yang membuatnya menjadi pelanggar hukum nomor satu, dan
yang melaksanakannya adalah bangsa tak berbudaya hukum.
Hukum adalah untuk manusia, artinya suatu aturan hukum tidak dapat
dilepas dari aspek manusia. Bahkan ia berpusat pada manusia karena esensi dan
eksistensinya berpusat pada manusia dari, oleh, dan untuk manusia. Ia berembrio
dari kehendak, motif, ideal, dan keprihatinan manusia. Ia dibuat oleh manusia,
dan dirumuskan dalam bahasa manusia yang hanya dapat dipahami oleh manusia. Ia
dijalankan oleh manusia dan untuk melayani kepentingan manusia. Keyakinan dasar
ini tidak melihat hukum sebagaisesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan
manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum.
Untuk itu diperlukan upaya untuk menciptakan masyarakat yang
memiliki nilai-nilai hukum dan meningkatkan kesadaran hukum di masyarakat,
serta perasaan terhadap hukum demi terlaksananya hukum yang menjadi faidah demi
terciptanya masyarakat yang tertib, tentram, nyaman, dan damai.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Komponen-Komponen Sistem
Hukum?
2. Apa Pengertian dan Karakteristik
Kesadaran dan Perasaan Terhadap Hukum?
3. Bagaimana Fenomena Bekerja dan Berjalannya
Suatu Hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Komponen-Komponen Sistem Hukum
Wiener mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem pengawasan perilaku
(ethical control) yang diterapkan
terhadap sistem komunikasi. Wujud hukum adalah norma yang merupakan produk dari
suatu pusat kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk mencipta kan dan
menerapkan hukum. Hukum sebagai suatu sistem kontrol searah yang dilakukan oleh
suatu central organ yang memiliki kekuasaan terhadap
sistem komunikasi. Kontrol searah itu mengan dungpengertian bahwa kontrol itu
hanya berlangsung dari suatu organ tertentu yang diberi kapasitas dan fungsi
untuk itu. Kontrol searah itu bersifat otomatis artinya secara otomatis-mekanis
menuntun perilaku setiap komponen sistem komunikasi tanpa adanya penolakan dari
komponen-komponen sistem komunikasi itu.
Teori hukum Cybernetics
hanya mampu menggambarkan sistem hukum secara sepihak, yaitu sistem hukum yang
memandang pemerintah sebagai energi yang secara otomatis dapat menggerakkan dan
mengontrol perilaku masyarakat dan belum menjangkau kenyataan-kenyataan hukum
yang diajukan oleh Pragmatic Legal
Realism. Sebaliknya, pemusatan perhatian kalangan Pragmatic Legal Realism juga telah mengakibatkan teori mereka tidak
menjangkau proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan bentuk-bentuk
hukum yang bagi masyarakat hukum tertentu merupakan kenyataan yang dipatuhi.
Sehingga teori Cybernetic ataupun
teori hukum pragmatic hanya mampu
membenarkan sebagian dari keseluruhan kenyataan hukum.
Satu-satunya paradigma hukum yang searah dengan konsepsi hukum Cybernetic adalah paradigma hukum
positif. Menurut paradigma ini, hukum merupakan perintah searah dari penguasa (law as command of the law giver). Hukum
dianggap perintah yang harus ditaati oleh masyarakat. Masyarakat tidak bisa
melanggar apa yang diharus kan oleh hukum karena penyimpangan akan mengakibatkan
sanksi hukum dikenakan kepadanya. Hakekat sanksi hukum adalah paksaan untuk
membuat masyarakat patuh terhadap perintah hukum.
Formulasi sistem hukum yang mengambarkan proses penerapan hukum
dalam masyarakat atau menggambarkan peranan hukum dalam mengatur perilaku masyarakat
yang dipandang tidak sekedar sebagai sistem mekanis, melainkan senyatanya
terbukti sebagai sistem kemanusian. Sistem hukum merupakan suatu kesatuan
sistem yang tersusun atas integralitas berbagai komponen sistem hukum, yang
masing-masing memiliki fungsi tersendiri dan terikat dalam satu kesatuan
hubungan yang saling terkait, bergantung, mempengaruhi, bergerak dalam kesatuan
proses, yaitu proses sistem hukum untuk mewujudkan tujuan hukum.
Pengertian tersebut merupakan hasil dari transformasi Teori Cybernetic + Teori Sistem + Paradigma
Hukum, yang satu sama lain saling mendukung dan mengisi. Teori Cybernetic memberi dukungan terhadap
proses penerapan hukum, terutama setelah dialihkan ke dalam teori Transformasi
sistem hukum. Teori sistem memberi dasar pengikat dan penggambaran terhadap
keseluruhan sistem hukum dan paradigma hukum memberikan substansi terhadap
keselu ruhan yang diajukan oleh Teori sistem itu.
Pada dasarnya, sistem hukum merupakan satu kesatuan sistem besar
yang tersusun atas sub-sub sistem yang lebih kecil, yaitu subsistem pendidikan,
pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain yang hakekatnya merupa kan
sistem tersendiri pula. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu
kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami
keutuhan prosesnya. Hal terpenting bagi suatu proses sistem adalah keseimbangan
potensi dan fungsi masing-masing komponennya. Dengan demikian hakekat suatu pembangunan
sistem adalah pembangunan terhadap komponenkomponennya.
Komponen-komponen sistem hukum adalah meliputi masyarakat hukum, budaya hukum, filsafat hukum, konsep
hukum, konsep hukum, pemben tukan hukum, bentuk hukum, penerapan hukum, dan
evaluasi hukum. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan masing-masing
komponen tersebut.
1.
Masyarakat hukum
Masyarakat
hukum adalah himpunan berbagai kesatuan hukum (legal unity), yang satu sama lain terikat dalam suatu hubungan yang
teratur. Kesatuan hukum yang membentuk masyarakat hukum itu dapat berupa
individu, kelompok, organisasi atau badan hukum negara, dan kesatuan-kesatuan
lainnya. Guna mengatur hubungan antar kesatuan hukum itu diperlukan hukum,
yaitu suatu kesatuan sistem yang tersusun atas berbagai komponen. Pengertian
tersebut merupakan refleksi dari kondisi obyektif berbagai kelas masyarakat
hukum, yang secara umum dapat diklasifikasikan atas tiga golongan utama, yaitu:
pertama, masyarakat sederhana; kedua, masyarakat negara; dan ketiga, masyarakat internasional.
Permasalahan
ini cenderung me nguatmanakala pertanyaan lebih tajam diarahkan pada
sebab-sebab yang mengu atkan eksistensi kesatuan-kesatuan hu kum bukan individu
yang diterima secara eksis dalam pergaulan kemasyarakatan. cara umum yang
dipergunakan untuk menjelaskan fenomena tersebut adalah melakukan telaah
etimologis terhadap istilah “masyarakat” dan “hukum”.
Pada
kenyataannya, terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara berbagai kelas
dari masyarakat itu. Dalam maknanya yang sederhana, masyarakat diartikan
sebagai suatu sistem kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama
antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta
kebebasan-kebebasan manusia.[1]
Menurut
pendapat Mac Iver bahwa pengertian masyarakat dalam terminologi sosiologis ini
harus dipisah kan dengan makna masyarakat dalam terminilogi Ilmu Politik dan
ilmu-ilmu non sosiologi lainnya. Pada makna sosiologi, masyarakat dibatasi pada
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Manusia hidup bersama. Tidak terda
pat ukuran yang pasti/mutlak untuk menentukan ada
tidaknya masyarakat melalui jumlah manusia. Secara teoretis angka minimalnya
adalah dua orang yang hidup bersama;
b. Bercampur untuk ukuran waktu yang
cukup lama dengan dominasi makna kehidupannya sebagai ciri utamanya;
c. Terdapat keasadaran yang mengikat
mereka dalam kesatuan; dan
d. Merupakan sistem hidup bersama yang
menimbulkan kebudayaan.
Dengan unsur-unsur tersebut masyarakat dibatasi pada makna sederhana
sehingga batasan ini dengan sendirinya menyulitkan sosiologi untuk menjangkau
makna masyarakat dalam suatu struktur negara dan masyarakat internasional.
Terkait dengan syarat-syarat dasar tersebut, hukum mendapat tempat
pada ketiga kelas masyarakat itu. Tiada satupun himpunan kesatuan sosial dapat
disebut masyarakat, tanpa adanya keteraturan dalam proses hubungan itu sebagai
kepentingan bersama dan keteraturan yang dimaksud tiada lain dari keberadaan
dan peran hukum dalam mengatur hubungan di antara kesatuan-kesatuan itu.
Tujuannya adalah untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan itu karena kepastian
merupakan unsur dasar yang dibutuhkan oleh setiap hubungan yang teratur.
Masyarakat yang demikian itulah yang disebut masyarakat hukum, yaitu masyarakat
yang mendasarkan hubungan antara anggotanya pada hukum.
Dalam masyarakat hukum yang bersifat sederhana menunjuk pada masya
rakat-masyarakat hukum adat di Indonesia, yang komunitasnya cenderung bersifat
sederhana dan homogen, hukum juga cenderung bersifat demikian. Keadaan
sebaliknya akan dijumpai dalam suatu masyarakat kenegaraan dan masyarakat
internasional yang cenderung bersifat kompleks dan variatif. Kompleksitas itu
juga dipengaruhi oleh keragaman nillai yang dianut oleh kesatuan-kesatuan yang
membentuk sistem masyarakat hukum itu.
Kenyataan yang sangat dekat dengan pernyataan tersebut adalah kondisi
masyarakat Indonesia yang tersusun atas kompleksitas komunitas yang menganut
sistem nilai yang cenderung bersifat khusus dan variatif. Baik dalam sifatnya
yang umum, seperti nilai keadilan, kebenaran dan sebagainya, maupun yang
bersifat khusus misalnya sistem perkawinan, kekerabatan, pewarisan, dan
sebagainya, yang secara singkat dapat diamati melalui keragaman budayanya.
2.
Budaya Hukum
Budaya hukum
yang dimaksudkan dalam bagian ini digunakan untuk menunjuk tradisi hukum yang
digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Dalam masyarakat
hukum yang sederhana, kehidupan masyarakat terikat oleh solidaritas mekanis,
persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu
keluarga besar, maka hukum cendeung berbentuk tidak tertulis.
Bentuk hukum
yang tidak tertulis tersebut dikenal sebagai budaya hukum dan terdapat
pada masyarakat-masyarakat tradisional. Budaya hukum tersebut lebih dipandang
sebagai budaya masyarakat Anglo-Saxon, kemudian di transformasi ke dalam bentuk
hukum kebiasaan (Customary Law) atau
kebiasaan hukum (Legal Customs).
Dalam perkembangannya, budaya hukum Anglo saxon berkembang menjadi tradisi
Common law, yang kemudian menjadi salah satu dari tradisi hukum. sedang hukum
kebiasaan tetap ada dan berkembang dalam masyarakat-masyarakat sederhana.
Sebagai kebiasaan hukum, hukum merupakan formulasi aturan yang tidak dibentuk
oleh Legislatif atau oleh hakim yang profesional, melainkan lahir dari opini-opini
populer dan diperkuat oleh sanksi yang bersifat kebiasaan yang telah berkembang
lama.
Hukum yang
berbentuk kebiasaan dianggap tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Hukum
dibentuk dan diberlakukan oleh dan di dalam suatu masyarakat. Karakter khas
dari budaya hukum ini adalah pertama,
hukumnya tidak tertulis; kedua,
senantiasa mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi psikologis anggota
masyarakat hukum setempat; ketiga, senantiasa
mempertimbangkan perasaan hukum, rasa keadilan, dan rasa butuh hukum oleh
masyarakat; keempat, dibentuk dan
diberlakukan oleh masyarakat tempat hukum itu hendak diberlakukan, kelima, pembentukan itu lebih merupakan
proses kebiasaan.
Menurut tradisi
Common law, Anglo- Saxon atau
Anglo--Amerika, hukum dipandang sebagai putusan-putusan hakim terhadap
suatu kasus, sehingga dalam bentuk ini, tradisi Common law dikenal juga sebagai tradisi case law. Hukum dibentuk oleh hakim berdasarkan kebiasaan yang
diakui atau berdasarkan perundang-undangan yang ada.
3.
Filsafat Hukum
Pada umumnya
filsafat hukum diartikan sebagai hasil pemikiran yang mendalam tentang hukum,
diartikan pula sebagai nilai hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum.
Sebagai suatu sistem, filsafat hukum merupakan refleksi dari budaya hukum
masyarakat tempat filsafat itu dicetuskan. Filsafat hukum juga merupakan hasil
dari renungan pakar hukum terhadap gejala hukum yang berkembang pada masyarakat
yang selanjutnya dituangkan dalam rumusan teori-teori hokum.
4.
Ilmu Hukum
Dalam sistem
hukum, ilmu hukum sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori
hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan
pengembangan itu berkaitan erat dengan dimensi-dimensi utama ilmu hukum, yaitu
dimensi ontologi, epistemologi, dan dimensi aksiologis. Dalam kaitannya dengan
dimensi aksiologi, ilmu hukum dipandang sebagai satu kesatuan dengan pendidikan
hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai media penghubung antara dunia rasional (sollen) dengan dunia empiris (seins).
Fungsi tersebut mungkin diperankan oleh ilmu dan pendidikan hukum, adalah
karena kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris
dari ilmu hukum. Melalui dua dimensi tersebut, ilmu dan pendidikan hukum dapat
menghubung kan dunia filsafat dengan dunia kenya taan dengan cara-cara
membangun konsep-konsep hukum.
5.
Konsep Hukum
Konsep hukum
adalah sebagai garis-garis dasar kebijaksanaan hukum yang dibentuk oleh suatu masyarakat
hukum. Hal tersebut merupakan pernyataan
sikap suatu masyarakat hukum terhadap
berbagai pilihan tradisi atau budaya hukum, filsafat atau teori hukum, bentuk hukum,
desain-desain pembentukan, dan penyelenggaraan hukum yang hendak dipilihnya.
Bagi proses pembentukan
hukum, penyelenggaraan dan pembangunan hukum pada satu masyarakat hukum,
penetapan konsep adalah merupakan tahap awal yang sangat penting. Pada tahap
ini masyarakat hukum harus memilih dan menetapkan suatu desain pembentukan,
penyelenggaraan, dan pembangunan hukum yang dipilihnya, dengan seutuhnya
mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, psikologi, dan seluruh aspek
kemasyarakatannya.
6.
Fungsi Hukum
Pembentukan hukum
dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh
suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda
pada setiap kelas masyarakat. pembentukan hukumm pada masyarakat sederhana
dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaankebiasaan hukum
atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung
melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masya rakat itu.
Pembentukan
hukum dapat dilakukan oleh hakim, lembaga legislatif maupun badan-badan
administratif yang melakukan fungsi semacam itu. Secara prinsip, pembicaraan
tentang komponen pembentukan hukum hakekatnya meli puti pembicaraan tentang
personil pembentukan, institusi pembentukannya, proses pembentukannya, dan
bentuk hukumnya.
7.
Bentuk Hukum
Suatu bentuk
hukum adalah merupakan hasil dari proses pembentukan hukum yang diterima dan
ditaati oleh masyarakat. Pada umumnya bentuk hukum diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu bentuk hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dalam masyarakat
yang sederhana, hukum cenderung tidak tertulis. Hukum merpakan formulasi kaidah
yang ada, hidup, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat.
Pada masyarakat
hukum kenegaraan atau masyarakat hukum internasional, bentuk hukum ini sering
dibedakan derajatnya menurut derajat materi atau derajat badan pembentuknya.
Bentuk hukum yang kini dapat diterima adalah hukum tertulis. Derajat pemben
tukannya dapat dibedakan atas badan yang berwenang membentuk aturan organisasi.
8.
Penerapan Hukum
Pada hakekatnya penerapan
hukum adalah penyelenggaraan pengaturan hubungan hukum setiap kesatuan hukum
dalam suatu masyarakat hukum. Pengaturan tersebut meliputi aspek pencegahan
pelanggaran hukum dan penyelesaian sengketa hukum, termasuk pemulihan kondisi
atas kerugian akibat pelanggaran itu. Sistem penerapan hukum meliputi tiga
komponen utama, yaitu komponen hukum yang akan diterapkan, institusi yang akan
menerapkan, dan personil dari institusi penyelenggara ini umumnya meliputi
lembaga-lembaga administratif dan lembaga-lembaga yudisial, seperti polisi,
jaksa, hakim, dan berbagai institusi yang berfungsi menyelenggarakan hukum
secara administratif pada jajaran eksekutif. Penerapan hukum ini merupakan
kunci akhir dari proses perwujudan tujuan sistem hukum yang efektifitasnya
dapat diketahui melalui komponen akhir dari suatu sistem, yaitu evaluasi hukum.
9.
Evaluasi Hukum
Bahwa kualitas
hukum baru diketahui setelah hukum itu diterapkan yaitu melalui evaluasi hukum.
Hukum yang baik akan membawa akibat pada hal-hal yang baik, sebaliknya hukum
yang buruk akan berakibat buruk pula. Komponen utama yang dapat melaksanakan
fungsi evaluasi ini adalah komponen masyarakat dengan dilihat dari reaksi
terhadap suatu penerapan hukum, komponen ilmu dan pendidikan hukum melalui
fungsi penelitiannya, dan hakim melalui pertimbangan-pertimbangan keadilannya
dalam penerapan suatu ketentuan hukum.
B.
Pengertian dan Indikator Kesadaran dan Perasaan Terhadap Hukum
1.
Pengertian Kesadaran dan Perasaan Terhadap Hukum
Perihal kata
atau pengertian kesadaran, di dalam kamus tercantum tidak kurang dari lima
arti, yaitu:[2]
a.
Kesadaran terhadap Sesuatu dalam diri sendiri; juga: negara atau
kenyataan menjadi sadar obyek eksternal, negara atau fakta.
b.
Keadaan yang ditandai dengan sensasi, emosi, kemauan, dan pikiran.
c.
Totalitas negara sadar individu.
d.
Keadaan normal dari kehidupan sadar.
e.
Tingkat atas dari kehidupan mental yang berbeda dengan proses bawah sadar.
Jadi kesadaran sebenarnya menunjuk pada interdependensi mental dan
interpenetrasi mental, yang masing-masing berorientasi pada “aku” nya manusia
dan pada “kami” nya.[3]
Arti hukum dapat ditujukan pada cara-cara merealisir hukum tadi,
dan juga pada pengertian yang diberikan oleh masyarakat; dalam hal ini akan
diusahakan untuk menjelaskan pengertian yang diberikan oleh masyarakat tentang
hukum adalah:
a.
Hukum sebagai ilmu pengetahuan
b.
Hukum sebagai kaedah
c.
Hukum sebagai tata hukum
d.
Hukum sebagai petugas hukum
e.
Hukum sebagai ketentuan dari penguasa
f.
Hukum sebagai proses pemerintahan
g.
Hukum sebagai pola-pola perikelakuan
h.
Hukum sebagai jalinan nilai-nilai
Sekarang timbul masalah, apakah kesadaran hukum merupakan gabungan
dari kedua pengertian yang telah diuraikan diatas? Di dalam ilmu hukum,
adakalanya dibedakan antara kesadaran hukum dengan perasaan hukum sebagaimana
dinyatakan oleh van Schmid.
Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara
serta merta dari masyarakat. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan
dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukannya
melalui penafsiran-penafsiran secara ilmiah.[4]
Scholten menekankan tentang nilai-nilai masyarakat tentang fungsi
apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. Sejalan dengan
pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa persoalannya di sini kembali pada
masalah dasar daripada sahnya hukum yang berlaku, yang akhirnya harus
dikembalikan pada nilai-nilai masyarakat (dalam arti warganya).
Jadi kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang
terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilainilai tentang fungsi
hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit
dalam masyarakat yang bersangkutan.
2.
Indikator-indikator Kesadaran Hukum
Hukum merupakan konkretisasi
daripada sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Suatu keadaan yang
dicita-citakan adalah adanya kesesuaian antara hukum dengan sistem nilai-nilai
tersebut.
Konsekuensinya adalah bahwa
perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan perubahan hukum atau di
lain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan
perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut. Dengan demikian nyatalah bahwa
masalah kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai. Maka
kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang
keserasaian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang
sepantasnya. Indikator-indikator dari masalah kesadaran hukum tersebut adalah:
a.
Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness)
b.
Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance)
c.
Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude)
d.
Pola-pola perikelakuan hukum (legal
behavior)
Setiap indikator tersebut di atas menunjuk pada tingkat kesadaran
hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi.
Sedangkan Zainudin Ali menyimpulkan bahwa masalah kesadaran hukum
warga masyarakat sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan
hukum tertentu diketahui, dipahami, ditaati, dan dihargai? Apabila warga
masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran
hukumnya lebih rendah dari mereka yang memahaminya, dan seterusnya. Hal itulah
yang disebut legal consciousness atau knowledge and opinion about law.
Hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran hukum adalah sebagai berikut:[5]
a.
Pengetahuan hukum
Bila suatu perundang-undangan telah
diundangkan dan diterbitkan menurut prosedur yang sah dan resmi, maka secara
yuridis peraturan perundang-undangan itu berlaku. Kemudian timbul asumsi bahwa
setiap warga masyarakat dianggap mengetahui adanya undangundang tersebut.
b.
Pemahaman hukum
Apabila pengetahuan hukum saja yang
dimiliki oleh masyarakat, hal itu belumlah memadai, masih diperlukan pemahaman
atas hukum yang berlaku. Melalui pemahaman hukum, masyarakat diharapkan
memahami tujuan peraturan perundang-undangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak
yang kehidupannya diatur oleh peraturan perundangan-undangan dimaksud.
c.
Penaatan hukum
Seorang warga masyarakat menaati
hukum karena berbagai sebab. Sebab-sebab dimaksud, dapat dicontohkan sebagai
berikut:
1)
Takut karena sanksi negatif, apabila melanggar hukum dilanggar
2)
Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa
3)
Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya
4)
Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
5)
Kepentingannya terjamin
Secara teoritis, faktor keempat merupakan hal yang paling baik. Hal
itu disebabkan pada faktor pertama, kedua, dan ketiga, penerapan hukum
senantiasa di dalam kenyataannya.
d.
Pengharapan terhadap hukum
Suatu norma hukum akan dihargai oleh
warga masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami, dan menaatinya.
Artinya, dia benar-benar dapat merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan
ketertiban serta ketenteraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan
segi lahiriah dari manusia, akan tetapi juga dari segi batiniah.
e.
Peningkatan kesadaran hukum
Peningkatan kesadaran hukum
seyogyanya dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas
dasar perencanaan yang mantap. Tujuan utama dari penerangan dan penyuluhan
hukum adalah agar warga masyarakat memahami hukumhukum tertentu, sesuai
masalah-masalah hukum yang sedang dihadapi pada suatu saat. Penerangan dan
penyuluhan hukum menjadi tugas dari kalangan hukum pada umumnya, dan khususnya
mereka yang mungkin secara langsung berhubungan dengan warga masyarakat, yaitu
petugas hukum.
C.
Fenomena Bekerja dan Berjalannya Suatu Hukum
1.
Setiap peraturan hukum menurut aturan-aturan, dan memerintahkan
pemangku peran seharusnya bertindak dan bertingkah laku;
2.
Respon dan tindakan yang dilakukan oleh pemangku peran merupakan
umpan balik dari fungsi suatu peraturan yang berlaku. Termasuk sanksi-sanksi
yaitu kinerja dan kebijakan lembaga pelaksana/penetap peraturan dan lingkungan
strategis (lingstra) yang mempengaruhinya;
3.
Tindakan-tindakan yang diambil oleh lembaga-lembaga pelaksana
peraturan sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi dari
peraturan hukum yang berlaku beserta sanksi-sangksinya dan seluruh kekuatan
dalam lingkungan strategi (lingstra) yang mempengaruhi dirinya, secara umpan
balik sebagai respon dari pemangku peran atau yang dikenai peraturan hukum);
dan
4.
Tindakan apa yang diambil oleh pembuat undang-undang, juga
merupakan fungsi peraturan hukum yang berlaku, termasuk sanksi-sanksinya dan
pengaruh seluruh kekuatan strategis (ipoleksosbud hankam) terhadap
dirinya, serta umpan balik yang datangnya dari para pemangku peran, pelaksana,
dan penerap peraturan).
Empat proposisi di atas, secara jelas menggambarkan bagaimana
bekerjanya suatu peraturan hukum dalam masyarakat. Teori Seidman ini dapat
dipakai untuk mengkaji peraturan hukum yang dibuat oleh para elite negara, dan
apakah bekerjanya hukum berfungsi sebagaimana mestinya dan efektif berlakunya
dalam masyarakat, atau justru sebaliknya tidak efektif bekerjanya.
Hukum dapat bekerja dan berfungsi tidak sekedar apa yang diharapkan
oleh pembuat peraturan hukum, tetapi perlu diteliti pada komponen elemen yang
tidak bekerja sebagaimana mestinya. Maksudnya tidak bekerja itu, bisa datangnya
dari pembuat peraturan hukum, atau dari para penerap peraturan/pelaksana,
ataukah dari pemangku peran. Selain itu dapat dikaji kendala-kendala eksternal
global yang menyebabkan hukum tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Seperti ada tekanan-tekanan dari pihak luar negeri yang tergabung dalam
organisiasi internasional.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Komponen-komponen sistem hukum adalah meliputi masyarakat hukum,
budaya hukum, filsafat hukum, konsep hukum, konsep hukum, pemben tukan hukum,
bentuk hukum, penerapan hukum, dan evaluasi hukum.
Kesadaran sebenarnya menunjuk pada interdependensi mental dan
interpenetrasi mental, yang masing-masing berorientasi pada “aku” nya manusia
dan pada “kami” nya. Arti hukum dapat ditujukan pada cara-cara merealisir hukum
tadi, dan juga pada pengertian yang diberikan oleh masyarakat; dalam hal ini
akan diusahakan untuk menjelaskan pengertian yang diberikan oleh masyarakat
tentang hukum adalah hukum sebagai ilmu pengetahuan, Hukum sebagai kaedah,
Hukum sebagai tata hukum, Hukum sebagai petugas hukum, Hukum sebagai ketentuan
dari penguasa, Hukum sebagai proses pemerintahan, Hukum sebagai pola-pola
perikelakuan, dan Hukum sebagai jalinan nilai-nilai.
Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat
di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan
ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilainilai tentang fungsi hukum dan
bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Hukum dapat bekerja dan berfungsi tidak sekedar apa yang diharapkan
oleh pembuat peraturan hukum, tetapi perlu diteliti pada komponen elemen yang
tidak bekerja sebagaimana mestinya. Maksudnya tidak bekerja itu, bisa datangnya
dari pembuat peraturan hukum, atau dari para penerap peraturan/pelaksana,
ataukah dari pemangku peran. Selain itu dapat dikaji kendala-kendala eksternal
global yang menyebabkan hukum tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Seperti ada tekanan-tekanan dari pihak luar negeri yang tergabung dalam
organisiasi internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainudin, 2007, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar
Grafika.
Soekanto, Soerjono, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar; Jakarta,
Rajawali
Soekanto, Soerjono, 1987, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta:
Rajawali.
Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta:
Rajawali.
[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta:
Rajawali, 1987, hlm. 20
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar; Jakarta:
Rajawali, 1982, hlm. 150
[3] Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta:
Rajawali, 1987, hlm. 150-151
[4] Soekanto, Op. Cit., 152
[5] Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007,
hlm. 69-50
Komentar
Posting Komentar