WALIMAH
MAKALAH
Dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan Islam I
Oleh:
Lusy Intan Maolani
Khaerul
Anwar
Miftah Farid
AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN
HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015 M/1437 H
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang
mencakup semua sisi kehidupan, tidak ada satu masalah pun dalam kehidupan
ini yang tidak dijelaskan, dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh
nilai islam, walau masalah tersebut Nampak kecil dan sepele. Itulah Islam,
agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam.
Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak,
dimulai bagaimana cara mencari kriteria calon pendamping hidup hingga bagaimana
memperlakukannya dikala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam memiliki
tuntunannya, begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta
pernikahan yang meriah, namun tetap mendapat berkah dan tidak melanggar
tuntunan Rasulullah SAW, demikian halnya dengan pernikahan yang sederhana namun
tetap penuh pesona.
Telah membudaya di kalangan masyarakat
umum, baik masyarakat dari lapisan bawah maupun lapisan atas, ketika terlaksana
pernikahan akan dilaksanakan pula sebuah perayaan dalam rangka mensyukuri
terselenggaranya momen tersebut. Dalam merayakannya itupun sangat variatif. Ada yang
dilaksanakan secara kecil-kecilan dengan hanya sebatas menjamu para undangan dengan
makanan sekedarnya atau bahkan ada yang merayakannya secara besar-besaran,
dengan memakan waktu berhari-hari dan dengan beraneka ragam hiburan dan
makanan yang disajikan hingga terkesan berlebihan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Rumusan Masalah Apa definisi umun walimah?
2.
Apa landasan Hukum walimah nikah?
3.
Apa maqhasidal syar’iy (tujuan hukum islam)
walimah nikah?
4.
Kapan waktu terbaik untuk menyelenggarakan walimah nikah?
5.
Bagaimana hukum ikhtilath dalam walimah nikah?
6.
Bagaimana hukum alat al malahiy dalam walimah nikah?
7.
Apa hukum mengahdiri walimah nikah?
8.
Apa hukum memberi amplop dalam walimah nikah?
9.
Bagaimana hukum jamak dan qashar shalat dalam walimah nikah?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui definisi umum walimah,
2.
Untuk mengetahui landasan hukum walimah,
3.
Untuk mengetahui maqashid al syar’iy dari
walimah nikah,
4.
Untuk mengetahui waktu terbaik menyelenggarakan walimah
nikah,
5.
Untuk mengetahui hukum ikhtilath dalam
walimah nikah,
6.
Untuk mengetahui hukum alat al malahiy dalam
walimah nikah,
7.
Untuk mengetahui hukum menghadiri walimah nikah,
8.
Untuk mengetahui hukum amplop dalam walimah nikah,
9.
Untuk mengetahui hukum jamak dan qashar shalat dalam walimah
nikah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
umum Walimah
Walimah (١ﻠﻭﻠﻴﻤﺔ) artinya
al-jam’u yaitu kumpul, sebab suami dan istri berkumpul. Walimah (١ﻠﻭﻠﻴﻤﺔ) berasal dari bahasa arab ١ﻠﻭﻠﻴﻡ artinya makanan
pengantin. Maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara
pesta perkawinan.Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu
undangan atau lainnya.[1]
Walimah adalah makanan yang disuguhkan pada suatu pesta
pernikahan atau hajatan yang diselenggarakan ketika atau setelah terjadinya
ijab qabul atau acara yang berkaitan dengan pernikahan.
Walimah adalah istilah yang terdapat dalam literatur arab
yang secara arti kata berarti jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak
digunakan untuk penghelatan di luar perkawinan.[2]Sedangkan
definisi yang terkenal di kalangan ulama, walimatul ‘ursy diartikan dengan
perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas telah terlaksananya akad
perkawinan dengan menghidangkan makanan.
Walimah adalah pesta perkawinan. Hal ini diperintahkan oleh
agama, dalam arti tidak cukup hanya pelaksanaan akad nikah saja, yaitu
dengan ijab qabul pernikahan. Tetapi juga diperintahkan untuk
mengadakan walimahan.[3]
B. Landasan
Hukum Walimah Nikah
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum mengadakan
walimah adalah sunnah muakkaddan hukum
menepati undangan walimah itu wajib ain, kecuali ada udzur, dan tidak wajib
datang untuk makan dari makanan walimah.
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ: قَرَأْتُ
عَلَى مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«إِذَا
دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا» روه مسلم
Artinya:Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, ia berkata, “Aku bacakan kepada
Malik”, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian diundang kepada suatu walimah, maka
hendaklah ia menghadirinya”. (HR. Muslim)[4]
Jumhur ulama mengatakan bahwa mengadakan acara walimah pernikahan
adalah sunah muakkad. Dalilnya adalah hadits-hadits Rasulullah SAW berikut ini
:
أَوْلَمَعَلَىصَفِيَّةَبِتَمْرٍوَسَمْنٍوَأَقِطٍ
أَنَّهُ
Rasulullah
SAW mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan hidangan kurma, minyak dan aqt.
(HR. Bukhari)
أَوْلِمْوَلَوْبِشَاةٍ
Undanglah
orang makan walau pun hanya dengan hidangan seekor kambing(HR. Bukhari dan
Muslim)
Dari
Buraidah ra berkata bahwa ketika ali bin Abi Thalib melamar Fatimah ra,
Rasulullah SAW bersabda,
“Setiap
pernikahan itu harus ada walimahnya. (HR. Ahmad)
Al-Hafiz
Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dengan ungkapan la ba’sa bihi.
Perintah
Nabi untuk mengadakan walimah dalam hadits ini tidak mengandung arti wajib,
tetapi hanya sunnah menurut jumhur ulama karena yang demikian hanya merupakan
tradisi yang hidup melanjutkan tradisi yang berlaku di kalangan Arab sebelum
Islam datang. Pelaksanaan walimah masa lalu itu diakui oleh Nabi untuk
dilanjutkan dengan sedikit perubahan dengan menyesuaikannya dengan tuntutan
Islam.
Yang beda pendapat dengan jumhur ulama adalah ulama
Zhahiriyah yang mengatakan diwajibkan atas setiap orang yang melangsungkan
perkawinan untuk mengadakan walimah al-ursy, baik secara kecil-kecilan maupun
secara besar-besaran sesuai dengan keadaan yang mengadakan perkawinan (Ibnu
Hazmin : 450. Golongan ini mendasarkan pendapatnya kepada hadits yang
disebutkan di atas dengan memahami amar atau perintah dalam hadits itu sebagai
perintah wajib.
C.
Maqhasid al Syar’iy dari
Walimah Nikah
Secara lughawi maqasid al-syari’ah
terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jama’
dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan.[5]
Syari’ah secara bahasa berarti jalan
menuju sumber air. Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan ke arah
sumber pokok kehidupan.[6] Menurut
Al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri adalah sesungguhnya
syari’at itu bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan di
akhirat. Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh Syatibi ialah hukum-hukum yang
disyari’atkan untuk kemashlahatan hamba.
Jadi maqhasid merupakan tujuan yang
ingin dicapai dalam mencapai sesuatu, ada yang menganggap maqashid adalah
mashlahah itu sendiri, sama dengan menarik mashlahat atau menolak mafsadah. Ada
juga yang memahami maqashid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta Jadi kesimpulannya, maqhasid syari’at
adalah matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat
manusia.
Para ulama menyebutkan bahwa
setidaknya ada tiga tujuan dari diselenggarakannya pesta walimah, kalau dilihat
dari kacamata hukum Islam:
1)
Pemberitahuan
Tujuan utama pesta walimah
sebenarnya sekedar memberitahukan kepada khalayak bahwa pasangan pengantin ini
telah resmi menikah.
2)
Ajang Mendoakan
Tujuan kedua adalah sebagai ajang
para tamu yang hadir ikut mendoakan kedua pasangan ini, agar mendapatkan
keberkahan dari Allah SWT serta menjadi pasangan yang saling menguatkan dalam
iman. Selain itu juga agar mereka mendapatkan ketentraman hari, rejeki yang
banyak dan berkah, serta agar segera mendapatkan keturunan yang shalih
dan shalihah.
3)
Ungkapan Rasa Syukur
Sedangkan tujuan ketiga, tentu
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan segala
pemberian dari-Nya.
D.
Waktu Terbaik Walimah Nikah
Pada umumnya pelaksanaan walimah
bersamaan dengan akad nikah, namun ada juga yang melaksanakannya jauh sesudah
akad nikah dilaksanakan. Biasanya jarak antara pinangan dengan walimah dari
akad tidak terlalu lama. Sebaliknya memang diusahakan demikian agar tidak
menyebabkan kebosanan akibat hadirnya pihak ketiga, yang tidak mustahil menyebabkan
perpisahan.
Pada umumnya waktu jarak antara
khitbah dengan walimah dipergunakan sebagai persiapan dalam menyambut walimah
itu sendiri yang ada bersamaan dilangsungkan akad nikah, persiapan ini berupa
persiapan materil atau non materil, keleluasaan, liburan, dan iklim pada saat
walimah.
E.
Hukum Ikhtilath dalam
Walimah Nikah
Mengumpulkan para tamu undangan pria
dan wanita dalam satu tempat tanpa pemisah hukumnya haram menurut banyak ulama
dikarenakan :
1)
Akan terjadi pandangan haram karena ditempat tersebut
berkumpul pria dan wanita yang bukan mahram .ini mengacu pada Q.S. An-Nur : 31
dan banyak hadits tentang hal ini.
2)
Akan terjadi duduknya seorang wanita dengan seorang pria
yang bukan suami istri serta bukan mahramnya. Dan duduk berdampingan pria dan
wanita bukan suami istri dan bukan mahram tetap tidak boleh meskipun disana
banyak orang.
3)
Biasanya terjadi jabatan tangan antara pria dan wanita yang
bukan mahramnya.
F.
Hukum Alat al Malahiy dalam
Walimah Nikah
Dalam hadits yang cukup panjang
terdapat banyak pelajaran yang bisa diambil di dalamnya. Mulai tentang
persaudaraan yang diikat oleh Aqidah Islamiyah, keutamaan bekerja daripada
meminta, kesabaran dalam bekerja, jenis maskawin dalam pernikahan, dan walimah
dalam suatu pernikahan.
Saat ini walimah sudah menjadi
sesuatu yang pelaksanabiasa dilaksanakan dalam masyarakat, namun di dalam
pelaksanaannya terdapat banyak pelanggaran norma-norma agama. Pelanggaran
dimulai dari tampilnya musik-musik hiburan yang melalaikan dari mengingat
Allah, makan sambil berdiri, kemubadziran hidangan, dan masih banyak lagi yang
lainnya. Walimah harus kita lakukan dan norma-norma agama yang lainpun tetap
menjadi kewajiban kita untuk menjaganya.
G.
Hukum Menghadiri Walimah Nikah
Menghadiri undangan walimah nikah
hukumnya wajib (fardhu’ain), berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari
:Jika salah satu diantara kalian di undang untuk menghadiri walimah (nikah)
maka hadirilah!
Meskipun demikian, para ulama
mengatakan bahwa ada beberapa syarat yang harus di penuhi untuk undangan
walimah. Jika tidak terpenuhi, maka menyebabkan menghadiri walimah nikah
menjadi tidak wajib, inilah syaratnya :
1)
Pihak mengundang adalah seorang muslim. Dengan demikian
tidak wajib untuk datang jika yang mengundang adalah seorang non muslim.
Hukumnya sunnah saja jika yang mengundang adalah non muslim (kafir dimni).
2)
Pihak yang mengundang memberikan undangan bukan karena takut
pada yang diundang atau mengharapkan bantuannya untuk suatu kejahatan, baik
dengan harta ataupun jabatannya. Jika seperti itu, maka hukumnya tidak wajib.
3)
Yang diundang tidak meminta izin untuk tidak hadir pada yang
mengundang. Jika meminta izin dan memberi tahu bahwa dia tidak bisa datang,
maka tidak berdosa jika tidak hadir.
4)
Tidak ada undangan yang mendahuluinya. Jika ada undangan
lain yang datangnya terlebih dahulu, maka wajib atas mendahulukannya. Jika
undangan ternyata datang pada saat yang bersamaan, maka harus mendahulukan yang
datang dari kerabatnya. Jika undangan yang datang bukan dari kerabatnya, maka
yang diutamakan adalah yang lebih dekat rumahnya.
H.
Hukum Amplop dalam Walimah Nikah
Dalam kenyataannya, hal yang
termasuk perlu kita kritisi adalah sikap mengharapkan adanya hadiah baik berupa
kado, angpau atau amplop berisi uang dari para tamu yang hadir.
Seolah-olahdigelarnyaacarawalimahsemata-matamengharapkan ‘bantuan’
finansialdarihadiahdanamploptersebut.Sayangnya hal itu terjadi sudah turun
temurun, sehingga seolah-olah berlaku hukum bahwa siapa yang tidak punya uang
untuk amplop yang diserahkan kepada petugas penerima tamu di depan, maka tidak
boleh datang menghadiri pesta walimah. Dan kalau menghadiri walimah tanpa
membawa uang, seolah-olah dianggap kurang sopan dan tidak tahu diri.Itulah
kesepakatan yang tidak tertulis dari semua orang, padahal sebenarnya hal itu
sudah merupakan pergeseran dari tujuan digelarnya walimah yang sebenarnya.
Seharusnya kalau memang tidak mampu mengundang makan-makan, karena dananya
terbatas, terima saja dan tidak harus memaksakandiri.Sebab kalau sampai
‘mengemis’ kepada tetamu, justru malah seharusnya kehilangan harga diri.Tetapi
hari ini rasa malu dan jatuhnya harga diri sudah tidak ada lagi. Bahkan dengan
tidak malu-malu dituliskan di kartu undangan sebuah pesan yang intinya tamu
jangan bawa kado, tapi bawa uangnya saja, biar tidak tekor alias rugi.
I.
Hukum Jamak dan Qashar Shalat
dalam Walimah Nikah
Pemandangan amat ironis yang sering
kita lihat setiap saat adalah sebuah pesta walimah yang digelar di ruang
serbaguna sebuah masjid.Tatkalaadzanberkumandang, iqamat dilantunkan, shalat
berjamaah dilaksanakan oleh imam rawatib, pesta walimah terus
berlangsung.Seharusnya ada kompromi antara pihak penyelenggara pesta walimah
dengan imam masjid. Apakah pestanya diselingi dengan shalat berjamaah terlebih
dahulu, ataukah shalatnya yang ditunda karena ada kegiatan.Kedua-duanya bisa
dipilih, asalkan ada kesepakatan antara imam masjid dengan pihak
penanggungjawab acara. Misalnya, pilihan dijatuhkan untuk menyelingi acara
walimah dengan shalat berjamaah, maka pimpinan acara mengumumkan bahwa seluruh
hadirin diminta untuk melaksanakan shalat berjamaah di dalam masjid, acara
sementara dihentikan untuk shalat berjamaah. Pilihan ini jauh lebih syar’i
daripada bikin walimahan memakai hijab yang masih khilafiyah hukumnya.
Tetapi bila pilihan dijatuhkan pada
bentuk yang kedua, maka atas dasar wewenang imam masjid, shalat berjamaah
ditunda barang beberapa waktu hingga pesta walimah usai. Setelah itu para
hadirin tetap diajak dan dihimbau untuk melaksanakan shalat berjamaah di masjid
itu. Misalnya pesta walimah baru selesai pukul 13.30 siang, maka diumumkan oleh
imam masjid bahwa shalat berjamaah Dzuhur di masjid itu akan ditunda hingga
pukul 13.30 siang itu, dan kepada hadirin silahkan meneruskan acara walimah itu
dengan tenang. Nanti bila telah mendekati jamnya, semua diajak untuk segera
melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah di masjid itu bersama-sama dengan imam
masjid.
Adapun hukum jamak dan qashar dalam
walimah nikah menurut Drs. H. sudjak, M.Ag adalah “Shalat jamak dan qashar
diberikan kepada orang yang bepergian (musafir), sedangkan menjamak shalat
diberikan bila ada hujan saat haji dan sedang berada di padang arafah dan
muzdalifah.
Walaupun ada pendapat yang
membolehkan menjamak shalat dengan alasan ada hajat/keperluan seperti walimah
dsb, tetapi pendapat itu tidak didukung para ulama. Apalagi tidak menjamak
shalat sama sekali dan membiarkan shalat
tidak ditegakkan.ayat Al-Qur’an mencela orang-orang yang melalaikan
shalat, QS. Al-Munafiqun ayat 3 dan QS. Maryam ayat 59.“Yang demikian itu
karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir, maka hati
mereka dikunci, sehingga mereka tidak dapat mengerti.” (QS. Al-Munafiqun ayat
3)“kemudian datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan shalat dan
mengikuti keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat.” (QS. Maryam ayat 59).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1.
Walimatul ‘ursy diartikan dengan perhelatan dalam
rangka mensyukuri nikmat Allah atas telah terlaksananya akad perkawinan dengan
menghidangkan makanan.
2.
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa penyelenggaraan
walimah hukumnya adalah sunnah bukan wajib, sementara menghadirinya adalah
wajib ketika tidak ada udzur yang menyebabkan gugurnya kewajiban itu.
3.
Sangat banyak adab-adab yang harus dijaga bagi
setiap orang yang mengadakan walimah supaya walimah tersebut terkesan islami
dan tidak menyimpang dari tuntunan Rasululah SAW.
4.
Hikmah penyelenggaraan walimah juga bermacam-macam,
salah-satunya adalah sebagai pengumuman bagi
masyarakat, bahwa antara mempelai telah resmi menjadi suami istri, sehingga
mastarakat tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kedua mempelai.
[2]Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm.
155.
[3]Imam
Muslim, Shohih Muslim, (Beirut-Libanon: Darul Ma’rifah, 2007
M/1428H), Juz. IX, hlm. 234
[4]Imam Muslim, Shohih Muslim, (Beirut-Libanon: Darul Ma’rifah,
2007 M/1428H), Juz. IX, hlm. 234.
[5]Hans Wehr,
A Dictionary Of Modern Written Arabic,
J. Milton Cowan (ed)(London: Mac Donald & Evan Ltd, 1980), hlm. 767.
Komentar
Posting Komentar