Kekuasaan
absolut Pengadilan Agama
Selain
sebagai makhluk individu, manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Artinya
manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi
dan berinteraksi dengan manusia yang lain, memiliki kemampuan untuk hidup
berkelompok dengan manusia yang lain. Tetapi adakalanya sifat individualistis
dan sifat egoistis manusia dalam kehidupan berkelompok mereka muncul, sehingga
tidak jarang terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat yang mengganggu
keharmonisan dalam berkehidupan. Untuk itu, Allah sebagai pencipta manusia
menurunkan Al-Qur’an melalui rasul-Nya yaitu Muhammad SAW sebagai peraturan dan
pedoman manusia dalam menjalankan kehidupan termasuk kehidupan berkelompok.
Setelah
Nabi Muhammad SAW wafat, manusia butuh suatu hal yang dapat memastikan bahwa
hak manusia mendapat keadilan yang diakui oleh semua orang terpenuhi, meskipun
keadilan sifatnya relatif. Maka dari itu, dibutuhkan suatu organisasi yang
teratur, sistematis dan memiliki tujuan yang jelas yaitu negara.
Negara
adalah sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu dan diorganisasi oleh
pemerintah negara yang sah, yang umumnya memiliki kedaulatan. Negara juga
merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku
bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independen. Syarat
primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki
pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat
pengakuan dari negara lain. (Negara, Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas; diakses tanggal 8 Oktober 2016 pukul 22.30 WIB)
Singkatnya,
Indonesia telah memenuhi segala persyaratan untuk bisa disebut sebagai sebuah
negara, sehingga Indonesia berhak mengatur warga negaranya dalam berbagai hal
termasuk memberi kepastian hukum agar hak warga negara mendapat keadilan
sebagai hak dasar manusia dapat terpenuhi. Untuk itu dibentuklah badan
peradilan, yang selanjutnya terbentuk pula Pengadilan Agama yang secara khusus
mengurusi perkara-perkara orang Islam karena mayoritas penduduk Indonesia
adalah Muslim, tetapi tidak dalam segala hal, hanya dalam bidang-bidang
tertentu saja.
Pembidangan
hukum Islam, dalam dimensi fikih, sejalan dengan perkembangan pemikiran fuqaha
yang terkait dengan perkembangan pranata sosial yang berfungsi sebagai penataan
hubungan antar manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Internalisasi
hukum Islam ke dalam pranata sosial melalui proses pemahaman, penghayatan,
pengalaman secara terus-menerus dan memola, kemudian mengalami pengorganisasian
secara formal. (Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, 2003,
hlm. 96)
Hukum
nasional diorientasikan kepada kepentingan nasional, sebagai satu kesatuan
hukum (sistem hukum nasional) yang mengatur dan mengikat seluruh masyarakat
bangsa, dan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku. Ia dibentuk
dengan memenuhi nilai filosofis yang
berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan
tata nilai budaya yang berlaku di dalam masyarakat, dan nilai yuridis yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berkenaan dengan hal
ini, maka hukum Islam merupakan salah satu tatanan hukum di dalam sistem hukum
nasional. Ia menjadi salah satu sumber dan bahan baku dalam pembentukan hukum
nasional. Oleh karena itu, ia memiliki peluang untuk ditransformasikan ke dalam
hukum tertulis tanpa kehilangan nilai-nilai transendentalnya. (Cik Hasan Bisri,
Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 97-98)
Asas-asas
dan norma-norma hukum Islam ditransformasikan dan diintegrasikan ke dalam hukum
nasional, melalui peraturan perundang-undangan dan produk-produk pengadilan.
Asas-asas dan norma-norma hukum Islam ditransformasikan dan diintegrasikan ke
dalam sebagian peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk seluruh masyarakat
dan berlaku secara khusus di kalangan orang-orang yang beragama Islam. Ia juga
diterapkan dalam bentuk produk-produk pengadilan, baik pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum maupun pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama. (Cik
Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 97)
Ditegaskan
dalam Pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 sebagai UU yang mengatur tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, lingkungan peradilan yang
berfungsi melaksanakan kekuasaan kehakiman atau Judicial Power terdiri dari
lingkungan peradilan:
1. Peradilan
Umum
2. Peradilan
Agama
3. Peradilan
Militer
4. Peradilan
Tata Usaha Negara
Kemudian
dalam Pasal 63 UU No.1 Tahun 1974 kembali ditegaskan tentang kedudukan dan
fungsi serta lingkungan Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili sengketa
perkara yang timbul dalam hukum kekeluargaan. Begitu pula dalam Pasal 44 UU No.
14 Tahun 1985 memberikan penegasan bahwa putusan dari semua lingkungan
peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama dapat diajukan permohonan kasasi
ke MA. Dengan ketentuan yang tersebar dalam Pasal berbagai perundang-undangan,
sudah cukup tegas menempatkan posisi lingkungan Peradilan Agama sebagai salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Lembaga itu berada dalam jajaran yang
sederajat dalam gugusan kekuasaan yudikatif dengan otonomi yurisdiksi tertentu.
(M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7
Tahun 1989), Jakarta: 2009, hlm. 10).
Maka
tercipta suatu kesatuan hukum lingkungan Peradilan Agama yang meliputi segala
segi mulai dari kesatuan keseragaman susunan, kekuasaan, dan hukum acara
termasuk kesatuan dan keseragaman kewenangan yurisdiksi. Kesatuan dan
keseragaman kewenangan yurisdiksi ditegaskan dalam Bab III (kekuasaan
pengadilan), sebagaimana yang dirinci dalam Pasal 49 yakni menyelesaikan
perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1. Perkawinan;
Menurut penjelasan
Pasal 49 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang dimaksud dengan bidang perkawinan
diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, antara lain adalah:
a. Ijin
beristri lebih dari seorang.
b. Ijin
melangsungkan perkawinan orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua
atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
c. Dispensasi
kawin
d. Pencegahan
perkawinan
e. Penolakan
perkawinan oleh pegawai pencatat nikah
f. Pembatalan
perkawinan
g. Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami atau istri
h. Perceraian
karena talak
i. Gugatan
perceraian
j. Penyelesaian
harta bersama
k. Mengenai
penguasaan anak-anak
l. Ibu dalam
memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya
bertanggungjawab tidak memenuhinya
m. Penentuan
kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami karena bekas istri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri
n. Putusan
tentang sah atau tidaknya seorang anak
o. Putusan
tentang pencabutan kekuasaan orang tua
p. Pencabutan
kekuasaan wali
q. Penunjukan
orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut
r. Menunjuk
seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas)
tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh
orang tuanya;
s. Pembebanan
kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas
harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
t. Penetapan
asal usul seorang anak
u. Putusan
tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
v. Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. (Cik Hasan
Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 222-224)
2. Kewarisan,
wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama di bidang kewarisan mencakup empat hal, yaitu 1) penentuan
siapa-siapa yang menjadi ahli waris; 2) penentuan mengenai harta peninggalan
(tirkah); 3) penentuan bagian masing-masing ahli waris dari harta peninggalan
dan; 4) melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. (Cik Hasan Bisri,
Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 224-225)
Wasiat adalah suatu tasyarruf (pelepasan)
terhadap harta peninggalan yang
dilaksanakan setelah meninggal dunia yang berwasiat. (Hasniah Hasan,
Hukum Warisan Dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hlm. 15). Adapun dasar
hukum masalah wasiat dalam al-Qur’an antara lain tersebut dalam surat
al-Baqarah ayat 180 dan al-Maidah ayat 106. Dalam hukum positif terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 Pasal 171 huruf (f) disebutkan bahwa wasiat
adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang
akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Hibah adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. (A. Rochmad
Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1999, hlm. 24). Seseorang dinyatakan sah menghibahkan hartanya
apabila memenuhi dua syarat secara yaitu ia sekurang-kurangnya berumur 21
tahun, dan berakal sehat. Kemudian jumlah harta yang dihibahkan tidak melebihi
sepertiga dari keseluruhan harta penghibah.
(M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan
dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), Jakarta: 2009, hlm. 12)
3. Ekonomi
syari’ah
Adapun sistem
ekonomi Islam meliputi antara lain:
a. Mengakui
hak milik individu sepanjang tidak merugikan masyarakat
b. Individu
mempunyai perbedaan yang dapat dikembangkan berdasarkan potensi masing-masing.
c. Adanya
jaminan sosial dari negara untuk masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan
pokok manusia.
d. Mencegah
konsentrasi kekayaan pada sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan lebih.
e. Melarang
praktek penimbunan barang sehingga mengganggu distribusi dan stabilitas harga.
f. Melarang
praktek asosial (mal-bisnis).
Komentar
Posting Komentar