Langsung ke konten utama

Kesadaran dan Perasaan Terhadap Hukum

BAB I
PEDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Membangun dan merealisasikan hukum dalam kehidupan masyarakat sudah pasti akan dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal masyarakat itu sendiri. Padahal hukum akan menjadi baik apabila masyarakat menerimanya dengan sukarela. Sebaliknya, hukum akan menjadi buruk apabila masyarakat tidak dapat menerimanya, karena tidak dapat menjaga kepentingan masyarakat. Dengan demikian hukum dan kepentingan masyarakat harus memiliki keseimbangan, dalam arti bahwa hukum diciptakan untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Sosiolog memandang hukum sebagai sebuah produk budaya. Hukum hanyalah benda mati, yang tiada artinya jika tidak dibuat dengan kesadaran akan urgensinya dan ketulusan untuk melaksanakannya. Hukum hanya akan jadi lelucon dan lawakan apabila yang membuatnya menjadi pelanggar hukum nomor satu, dan yang melaksanakannya adalah bangsa tak berbudaya hukum.
Hukum adalah untuk manusia, artinya suatu aturan hukum tidak dapat dilepas dari aspek manusia. Bahkan ia berpusat pada manusia karena esensi dan eksistensinya berpusat pada manusia dari, oleh, dan untuk manusia. Ia berembrio dari kehendak, motif, ideal, dan keprihatinan manusia. Ia dibuat oleh manusia, dan dirumuskan dalam bahasa manusia yang hanya dapat dipahami oleh manusia. Ia dijalankan oleh manusia dan untuk melayani kepentingan manusia. Keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagaisesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum.
Untuk itu diperlukan upaya untuk menciptakan masyarakat yang memiliki nilai-nilai hukum dan meningkatkan kesadaran hukum di masyarakat, serta perasaan terhadap hukum demi terlaksananya hukum yang menjadi faidah demi terciptanya masyarakat yang tertib, tentram, nyaman, dan damai.

B.                 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Komponen-Komponen Sistem Hukum?
2.      Apa Pengertian dan Karakteristik Kesadaran dan Perasaan Terhadap Hukum?
3.      Bagaimana Fenomena Bekerja dan Berjalannya Suatu Hukum?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Komponen-Komponen Sistem Hukum
Wiener mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem pengawasan perilaku (ethical control) yang diterapkan terhadap sistem komunikasi. Wujud hukum adalah norma yang merupakan produk dari suatu pusat kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk mencipta kan dan menerapkan hukum. Hukum sebagai suatu sistem kontrol searah yang dilakukan oleh suatu central organ yang memiliki kekuasaan terhadap sistem komunikasi. Kontrol searah itu mengan dungpengertian bahwa kontrol itu hanya berlangsung dari suatu organ tertentu yang diberi kapasitas dan fungsi untuk itu. Kontrol searah itu bersifat otomatis artinya secara otomatis-mekanis menuntun perilaku setiap komponen sistem komunikasi tanpa adanya penolakan dari komponen-komponen sistem komunikasi itu.
Teori hukum Cybernetics hanya mampu menggambarkan sistem hukum secara sepihak, yaitu sistem hukum yang memandang pemerintah sebagai energi yang secara otomatis dapat menggerakkan dan mengontrol perilaku masyarakat dan belum menjangkau kenyataan-kenyataan hukum yang diajukan oleh Pragmatic Legal Realism. Sebaliknya, pemusatan perhatian kalangan Pragmatic Legal Realism juga telah mengakibatkan teori mereka tidak menjangkau proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan bentuk-bentuk hukum yang bagi masyarakat hukum tertentu merupakan kenyataan yang dipatuhi. Sehingga teori Cybernetic ataupun teori hukum pragmatic hanya mampu membenarkan sebagian dari keseluruhan kenyataan hukum. 
Satu-satunya paradigma hukum yang searah dengan konsepsi hukum Cybernetic adalah paradigma hukum positif. Menurut paradigma ini, hukum merupakan perintah searah dari penguasa (law as command of the law giver). Hukum dianggap perintah yang harus ditaati oleh masyarakat. Masyarakat tidak bisa melanggar apa yang diharus kan oleh hukum karena penyimpangan akan mengakibatkan sanksi hukum dikenakan kepadanya. Hakekat sanksi hukum adalah paksaan untuk membuat masyarakat patuh terhadap perintah hukum.
Formulasi sistem hukum yang mengambarkan proses penerapan hukum dalam masyarakat atau menggambarkan peranan hukum dalam mengatur perilaku masyarakat yang dipandang tidak sekedar sebagai sistem mekanis, melainkan senyatanya terbukti sebagai sistem kemanusian. Sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem yang tersusun atas integralitas berbagai komponen sistem hukum, yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri dan terikat dalam satu kesatuan hubungan yang saling terkait, bergantung, mempengaruhi, bergerak dalam kesatuan proses, yaitu proses sistem hukum untuk mewujudkan tujuan hukum.
Pengertian tersebut merupakan hasil dari transformasi Teori Cybernetic + Teori Sistem + Paradigma Hukum, yang satu sama lain saling mendukung dan mengisi. Teori Cybernetic memberi dukungan terhadap proses penerapan hukum, terutama setelah dialihkan ke dalam teori Transformasi sistem hukum. Teori sistem memberi dasar pengikat dan penggambaran terhadap keseluruhan sistem hukum dan paradigma hukum memberikan substansi terhadap keselu ruhan yang diajukan oleh Teori sistem itu. 
Pada dasarnya, sistem hukum merupakan satu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang lebih kecil, yaitu subsistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain yang hakekatnya merupa kan sistem tersendiri pula. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya. Hal terpenting bagi suatu proses sistem adalah keseimbangan potensi dan fungsi masing-masing komponennya. Dengan demikian hakekat suatu pembangunan sistem adalah pembangunan terhadap komponenkomponennya.
Komponen-komponen sistem hukum adalah meliputi masyarakat hukum, budaya hukum, filsafat hukum, konsep hukum, konsep hukum, pemben tukan hukum, bentuk hukum, penerapan hukum, dan evaluasi hukum. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan masing-masing komponen tersebut.

 
1.      Masyarakat hukum
Masyarakat hukum adalah himpunan berbagai kesatuan hukum (legal unity), yang satu sama lain terikat dalam suatu hubungan yang teratur. Kesatuan hukum yang membentuk masyarakat hukum itu dapat berupa individu, kelompok, organisasi atau badan hukum negara, dan kesatuan-kesatuan lainnya. Guna mengatur hubungan antar kesatuan hukum itu diperlukan hukum, yaitu suatu kesatuan sistem yang tersusun atas berbagai komponen. Pengertian tersebut merupakan refleksi dari kondisi obyektif berbagai kelas masyarakat hukum, yang secara umum dapat diklasifikasikan atas tiga golongan utama, yaitu: pertama, masyarakat sederhana; kedua, masyarakat negara; dan ketiga, masyarakat internasional.
Permasalahan ini cenderung me nguatmanakala pertanyaan lebih tajam diarahkan pada sebab-sebab yang mengu atkan eksistensi kesatuan-kesatuan hu kum bukan individu yang diterima secara eksis dalam pergaulan kemasyarakatan. cara umum yang dipergunakan untuk menjelaskan fenomena tersebut adalah melakukan telaah etimologis terhadap istilah “masyarakat” dan “hukum”.
Pada kenyataannya, terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara berbagai kelas dari masyarakat itu. Dalam maknanya yang sederhana, masyarakat diartikan sebagai suatu sistem kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia.[1]
Menurut pendapat Mac Iver bahwa pengertian masyarakat dalam terminologi sosiologis ini harus dipisah kan dengan makna masyarakat dalam terminilogi Ilmu Politik dan ilmu-ilmu non sosiologi lainnya. Pada makna sosiologi, masyarakat dibatasi pada unsur-unsur sebagai berikut:
a.   Manusia hidup bersama. Tidak terda pat ukuran yang pasti/mutlak untuk menentukan ada tidaknya masyarakat melalui jumlah manusia. Secara teoretis angka minimalnya adalah dua orang yang hidup bersama;
b.    Bercampur untuk ukuran waktu yang cukup lama dengan dominasi makna kehidupannya sebagai ciri utamanya;
c.    Terdapat keasadaran yang mengikat mereka dalam kesatuan; dan
d.    Merupakan sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan.
Dengan unsur-unsur tersebut masyarakat dibatasi pada makna sederhana sehingga batasan ini dengan sendirinya menyulitkan sosiologi untuk menjangkau makna masyarakat dalam suatu struktur negara dan masyarakat internasional.
Terkait dengan syarat-syarat dasar tersebut, hukum mendapat tempat pada ketiga kelas masyarakat itu. Tiada satupun himpunan kesatuan sosial dapat disebut masyarakat, tanpa adanya keteraturan dalam proses hubungan itu sebagai kepentingan bersama dan keteraturan yang dimaksud tiada lain dari keberadaan dan peran hukum dalam mengatur hubungan di antara kesatuan-kesatuan itu. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan itu karena kepastian merupakan unsur dasar yang dibutuhkan oleh setiap hubungan yang teratur. Masyarakat yang demikian itulah yang disebut masyarakat hukum, yaitu masyarakat yang mendasarkan hubungan antara anggotanya pada hukum.
Dalam masyarakat hukum yang bersifat sederhana menunjuk pada masya rakat-masyarakat hukum adat di Indonesia, yang komunitasnya cenderung bersifat sederhana dan homogen, hukum juga cenderung bersifat demikian. Keadaan sebaliknya akan dijumpai dalam suatu masyarakat kenegaraan dan masyarakat internasional yang cenderung bersifat kompleks dan variatif. Kompleksitas itu juga dipengaruhi oleh keragaman nillai yang dianut oleh kesatuan-kesatuan yang membentuk sistem masyarakat hukum itu.
Kenyataan yang sangat dekat dengan pernyataan tersebut adalah kondisi masyarakat Indonesia yang tersusun atas kompleksitas komunitas yang menganut sistem nilai yang cenderung bersifat khusus dan variatif. Baik dalam sifatnya yang umum, seperti nilai keadilan, kebenaran dan sebagainya, maupun yang bersifat khusus misalnya sistem perkawinan, kekerabatan, pewarisan, dan sebagainya, yang secara singkat dapat diamati melalui keragaman budayanya.
2.      Budaya Hukum
Budaya hukum yang dimaksudkan dalam bagian ini digunakan untuk menunjuk tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Dalam masyarakat hukum yang sederhana, kehidupan masyarakat terikat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cendeung berbentuk tidak tertulis.
Bentuk hukum yang tidak tertulis tersebut dikenal sebagai budaya hukum dan terdapat pada masyarakat-masyarakat tradisional. Budaya hukum tersebut lebih dipandang sebagai budaya masyarakat Anglo-Saxon, kemudian di transformasi ke dalam bentuk hukum kebiasaan (Customary Law) atau kebiasaan hukum (Legal Customs). Dalam perkembangannya, budaya hukum Anglo saxon berkembang menjadi tradisi Common law, yang kemudian menjadi salah satu dari tradisi hukum. sedang hukum kebiasaan tetap ada dan berkembang dalam masyarakat-masyarakat sederhana. Sebagai kebiasaan hukum, hukum merupakan formulasi aturan yang tidak dibentuk oleh Legislatif atau oleh hakim yang profesional, melainkan lahir dari opini-opini populer dan diperkuat oleh sanksi yang bersifat kebiasaan yang telah berkembang lama.
Hukum yang berbentuk kebiasaan dianggap tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Hukum dibentuk dan diberlakukan oleh dan di dalam suatu masyarakat. Karakter khas dari budaya hukum ini adalah pertama, hukumnya tidak tertulis; kedua, senantiasa mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi psikologis anggota masyarakat hukum setempat; ketiga, senantiasa mempertimbangkan perasaan hukum, rasa keadilan, dan rasa butuh hukum oleh masyarakat; keempat, dibentuk dan diberlakukan oleh masyarakat tempat hukum itu hendak diberlakukan, kelima, pembentukan itu lebih merupakan proses kebiasaan.
Menurut tradisi Common law, Anglo- Saxon atau Anglo--Amerika, hukum dipandang sebagai putusan-putusan hakim terhadap suatu kasus, sehingga dalam bentuk ini, tradisi Common law dikenal juga sebagai tradisi case law. Hukum dibentuk oleh hakim berdasarkan kebiasaan yang diakui atau berdasarkan perundang-undangan yang ada.
3.      Filsafat Hukum
Pada umumnya filsafat hukum diartikan sebagai hasil pemikiran yang mendalam tentang hukum, diartikan pula sebagai nilai hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum. Sebagai suatu sistem, filsafat hukum merupakan refleksi dari budaya hukum masyarakat tempat filsafat itu dicetuskan. Filsafat hukum juga merupakan hasil dari renungan pakar hukum terhadap gejala hukum yang berkembang pada masyarakat yang selanjutnya dituangkan dalam rumusan teori-teori hokum.
4.      Ilmu Hukum
Dalam sistem hukum, ilmu hukum sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan pengembangan itu berkaitan erat dengan dimensi-dimensi utama ilmu hukum, yaitu dimensi ontologi, epistemologi, dan dimensi aksiologis. Dalam kaitannya dengan dimensi aksiologi, ilmu hukum dipandang sebagai satu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai media penghubung antara dunia rasional (sollen) dengan dunia empiris (seins). Fungsi tersebut mungkin diperankan oleh ilmu dan pendidikan hukum, adalah karena kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dari ilmu hukum. Melalui dua dimensi tersebut, ilmu dan pendidikan hukum dapat menghubung kan dunia filsafat dengan dunia kenya taan dengan cara-cara membangun konsep-konsep hukum.
5.      Konsep Hukum
Konsep hukum adalah sebagai garis-garis dasar kebijaksanaan hukum yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum.  Hal tersebut merupakan pernyataan sikap suatu masyarakat   hukum terhadap berbagai pilihan tradisi atau budaya hukum, filsafat atau teori hukum, bentuk hukum, desain-desain pembentukan, dan penyelenggaraan hukum yang hendak dipilihnya.
Bagi proses pembentukan hukum, penyelenggaraan dan pembangunan hukum pada satu masyarakat hukum, penetapan konsep adalah merupakan tahap awal yang sangat penting. Pada tahap ini masyarakat hukum harus memilih dan menetapkan suatu desain pembentukan, penyelenggaraan, dan pembangunan hukum yang dipilihnya, dengan seutuhnya mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, psikologi, dan seluruh aspek kemasyarakatannya.
6.      Fungsi Hukum
Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. pembentukan hukumm pada masyarakat sederhana dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaankebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masya rakat itu.
Pembentukan hukum dapat dilakukan oleh hakim, lembaga legislatif maupun badan-badan administratif yang melakukan fungsi semacam itu. Secara prinsip, pembicaraan tentang komponen pembentukan hukum hakekatnya meli puti pembicaraan tentang personil pembentukan, institusi pembentukannya, proses pembentukannya, dan bentuk hukumnya.
7.      Bentuk Hukum
Suatu bentuk hukum adalah merupakan hasil dari proses pembentukan hukum yang diterima dan ditaati oleh masyarakat. Pada umumnya bentuk hukum diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bentuk hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dalam masyarakat yang sederhana, hukum cenderung tidak tertulis. Hukum merpakan formulasi kaidah yang ada, hidup, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat.
Pada masyarakat hukum kenegaraan atau masyarakat hukum internasional, bentuk hukum ini sering dibedakan derajatnya menurut derajat materi atau derajat badan pembentuknya. Bentuk hukum yang kini dapat diterima adalah hukum tertulis. Derajat pemben tukannya dapat dibedakan atas badan yang berwenang membentuk aturan organisasi.
8.      Penerapan Hukum
Pada hakekatnya penerapan hukum adalah penyelenggaraan pengaturan hubungan hukum setiap kesatuan hukum dalam suatu masyarakat hukum. Pengaturan tersebut meliputi aspek pencegahan pelanggaran hukum dan penyelesaian sengketa hukum, termasuk pemulihan kondisi atas kerugian akibat pelanggaran itu. Sistem penerapan hukum meliputi tiga komponen utama, yaitu komponen hukum yang akan diterapkan, institusi yang akan menerapkan, dan personil dari institusi penyelenggara ini umumnya meliputi lembaga-lembaga administratif dan lembaga-lembaga yudisial, seperti polisi, jaksa, hakim, dan berbagai institusi yang berfungsi menyelenggarakan hukum secara administratif pada jajaran eksekutif. Penerapan hukum ini merupakan kunci akhir dari proses perwujudan tujuan sistem hukum yang efektifitasnya dapat diketahui melalui komponen akhir dari suatu sistem, yaitu evaluasi hukum.
9.      Evaluasi Hukum
Bahwa kualitas hukum baru diketahui setelah hukum itu diterapkan yaitu melalui evaluasi hukum. Hukum yang baik akan membawa akibat pada hal-hal yang baik, sebaliknya hukum yang buruk akan berakibat buruk pula. Komponen utama yang dapat melaksanakan fungsi evaluasi ini adalah komponen masyarakat dengan dilihat dari reaksi terhadap suatu penerapan hukum, komponen ilmu dan pendidikan hukum melalui fungsi penelitiannya, dan hakim melalui pertimbangan-pertimbangan keadilannya dalam penerapan suatu ketentuan hukum.




B.     Pengertian dan Indikator Kesadaran dan Perasaan Terhadap Hukum
1.      Pengertian Kesadaran dan Perasaan Terhadap Hukum
Perihal kata atau pengertian kesadaran, di dalam kamus tercantum tidak kurang dari lima arti, yaitu:[2]
a.       Kesadaran terhadap Sesuatu dalam diri sendiri; juga: negara atau kenyataan menjadi sadar obyek eksternal, negara atau fakta.
b.      Keadaan yang ditandai dengan sensasi, emosi, kemauan, dan pikiran.
c.       Totalitas negara sadar individu.
d.      Keadaan normal dari kehidupan sadar.
e.       Tingkat atas dari kehidupan mental yang berbeda dengan proses bawah sadar.
Jadi kesadaran sebenarnya menunjuk pada interdependensi mental dan interpenetrasi mental, yang masing-masing berorientasi pada “aku” nya manusia dan pada “kami” nya.[3]
Arti hukum dapat ditujukan pada cara-cara merealisir hukum tadi, dan juga pada pengertian yang diberikan oleh masyarakat; dalam hal ini akan diusahakan untuk menjelaskan pengertian yang diberikan oleh masyarakat tentang hukum adalah:
a.       Hukum sebagai ilmu pengetahuan 
b.      Hukum sebagai kaedah
c.       Hukum sebagai tata hukum
d.      Hukum sebagai petugas hukum
e.       Hukum sebagai ketentuan dari penguasa
f.        Hukum sebagai proses pemerintahan
g.      Hukum sebagai pola-pola perikelakuan
h.      Hukum sebagai jalinan nilai-nilai
Sekarang timbul masalah, apakah kesadaran hukum merupakan gabungan dari kedua pengertian yang telah diuraikan diatas? Di dalam ilmu hukum, adakalanya dibedakan antara kesadaran hukum dengan perasaan hukum sebagaimana dinyatakan oleh van Schmid.
Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara serta merta dari masyarakat. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukannya melalui penafsiran-penafsiran secara ilmiah.[4]
Scholten menekankan tentang nilai-nilai masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. Sejalan dengan pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa persoalannya di sini kembali pada masalah dasar daripada sahnya hukum yang berlaku, yang akhirnya harus dikembalikan pada nilai-nilai masyarakat (dalam arti warganya).
Jadi kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilainilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.
2.      Indikator-indikator Kesadaran Hukum
Hukum merupakan konkretisasi daripada sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya kesesuaian antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut.
Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan perubahan hukum atau di lain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut. Dengan demikian nyatalah bahwa masalah kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai. Maka kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasaian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Indikator-indikator dari masalah kesadaran hukum tersebut adalah:
a.       Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness)
b.      Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance)
c.       Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude)
d.      Pola-pola perikelakuan hukum (legal behavior)
Setiap indikator tersebut di atas menunjuk pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi.
Sedangkan Zainudin Ali menyimpulkan bahwa masalah kesadaran hukum warga masyarakat sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dipahami, ditaati, dan dihargai? Apabila warga masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah dari mereka yang memahaminya, dan seterusnya. Hal itulah yang disebut legal consciousness atau knowledge and opinion about law. Hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran hukum adalah sebagai berikut:[5]
a.       Pengetahuan hukum
Bila suatu perundang-undangan telah diundangkan dan diterbitkan menurut prosedur yang sah dan resmi, maka secara yuridis peraturan perundang-undangan itu berlaku. Kemudian timbul asumsi bahwa setiap warga masyarakat dianggap mengetahui adanya undangundang tersebut.
b.      Pemahaman hukum
Apabila pengetahuan hukum saja yang dimiliki oleh masyarakat, hal itu belumlah memadai, masih diperlukan pemahaman atas hukum yang berlaku. Melalui pemahaman hukum, masyarakat diharapkan memahami tujuan peraturan perundang-undangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan perundangan-undangan dimaksud.
c.       Penaatan hukum
Seorang warga masyarakat menaati hukum karena berbagai sebab. Sebab-sebab dimaksud, dapat dicontohkan sebagai berikut:
1)      Takut karena sanksi negatif, apabila melanggar hukum dilanggar
2)      Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa
3)      Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya
4)      Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
5)      Kepentingannya terjamin
Secara teoritis, faktor keempat merupakan hal yang paling baik. Hal itu disebabkan pada faktor pertama, kedua, dan ketiga, penerapan hukum senantiasa di dalam kenyataannya.
d.      Pengharapan terhadap hukum
Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami, dan menaatinya. Artinya, dia benar-benar dapat merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketenteraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriah dari manusia, akan tetapi juga dari segi batiniah.
e.       Peningkatan kesadaran hukum
Peningkatan kesadaran hukum seyogyanya dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Tujuan utama dari penerangan dan penyuluhan hukum adalah agar warga masyarakat memahami hukumhukum tertentu, sesuai masalah-masalah hukum yang sedang dihadapi pada suatu saat. Penerangan dan penyuluhan hukum menjadi tugas dari kalangan hukum pada umumnya, dan khususnya mereka yang mungkin secara langsung berhubungan dengan warga masyarakat, yaitu petugas hukum.
C.    Fenomena Bekerja dan Berjalannya Suatu Hukum
1.      Setiap peraturan hukum menurut aturan-aturan, dan memerintahkan pemangku peran seharusnya bertindak dan bertingkah laku;
2.      Respon dan tindakan yang dilakukan oleh pemangku peran merupakan umpan balik dari fungsi suatu peraturan yang berlaku. Termasuk sanksi-sanksi yaitu kinerja dan kebijakan lembaga pelaksana/penetap peraturan dan lingkungan strategis (lingstra) yang mempengaruhinya;
3.      Tindakan-tindakan yang diambil oleh lembaga-lembaga pelaksana peraturan sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi dari peraturan hukum yang berlaku beserta sanksi-sangksinya dan seluruh kekuatan dalam lingkungan strategi (lingstra) yang mempengaruhi dirinya, secara umpan balik sebagai respon dari pemangku peran atau yang dikenai peraturan hukum); dan
4.      Tindakan apa yang diambil oleh pembuat undang-undang, juga merupakan fungsi peraturan hukum yang berlaku, termasuk sanksi-sanksinya dan pengaruh seluruh kekuatan strategis (ipoleksosbud hankam) terhadap dirinya, serta umpan balik yang datangnya dari para pemangku peran, pelaksana, dan penerap peraturan).
Empat proposisi di atas, secara jelas menggambarkan bagaimana bekerjanya suatu peraturan hukum dalam masyarakat. Teori Seidman ini dapat dipakai untuk mengkaji peraturan hukum yang dibuat oleh para elite negara, dan apakah bekerjanya hukum berfungsi sebagaimana mestinya dan efektif berlakunya dalam masyarakat, atau justru sebaliknya tidak efektif bekerjanya.
Hukum dapat bekerja dan berfungsi tidak sekedar apa yang diharapkan oleh pembuat peraturan hukum, tetapi perlu diteliti pada komponen elemen yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Maksudnya tidak bekerja itu, bisa datangnya dari pembuat peraturan hukum, atau dari para penerap peraturan/pelaksana, ataukah dari pemangku peran. Selain itu dapat dikaji kendala-kendala eksternal global yang menyebabkan hukum tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Seperti ada tekanan-tekanan dari pihak luar negeri yang tergabung dalam organisiasi internasional.



BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Komponen-komponen sistem hukum adalah meliputi masyarakat hukum, budaya hukum, filsafat hukum, konsep hukum, konsep hukum, pemben tukan hukum, bentuk hukum, penerapan hukum, dan evaluasi hukum.
Kesadaran sebenarnya menunjuk pada interdependensi mental dan interpenetrasi mental, yang masing-masing berorientasi pada “aku” nya manusia dan pada “kami” nya. Arti hukum dapat ditujukan pada cara-cara merealisir hukum tadi, dan juga pada pengertian yang diberikan oleh masyarakat; dalam hal ini akan diusahakan untuk menjelaskan pengertian yang diberikan oleh masyarakat tentang hukum adalah hukum sebagai ilmu pengetahuan, Hukum sebagai kaedah, Hukum sebagai tata hukum, Hukum sebagai petugas hukum, Hukum sebagai ketentuan dari penguasa, Hukum sebagai proses pemerintahan, Hukum sebagai pola-pola perikelakuan, dan Hukum sebagai jalinan nilai-nilai.
Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilainilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.
Hukum dapat bekerja dan berfungsi tidak sekedar apa yang diharapkan oleh pembuat peraturan hukum, tetapi perlu diteliti pada komponen elemen yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Maksudnya tidak bekerja itu, bisa datangnya dari pembuat peraturan hukum, atau dari para penerap peraturan/pelaksana, ataukah dari pemangku peran. Selain itu dapat dikaji kendala-kendala eksternal global yang menyebabkan hukum tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Seperti ada tekanan-tekanan dari pihak luar negeri yang tergabung dalam organisiasi internasional.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin, 2007, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Soekanto, Soerjono, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar; Jakarta, Rajawali
Soekanto, Soerjono, 1987, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: Rajawali.
Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali.




[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali, 1987, hlm. 20
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar; Jakarta: Rajawali, 1982, hlm. 150
[3] Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1987, hlm. 150-151
[4] Soekanto, Op. Cit., 152
[5] Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 69-50

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH WALIMAH

WALIMAH MAKALAH Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan Islam I Oleh: Lusy Intan Maolani Khaerul Anwar M. Ilga Sopyan Miftah Farid AHWAL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2015 M/1437 H BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan, tidak ada satu masalah pun  dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan, dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai islam, walau masalah tersebut Nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak, dimulai bagaimana cara mencari kriteria calon pendamping hidup hingga bagaimana memperlakukannya dikala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam memiliki tuntunannya, begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikah...

Perbedaan mukmin fasiq dan dzalim dengan kafir

c.        Perbedaan mukmin fasiq dan dzalim dengan kafir 1)       Orang Fasik: Orang fasik adalah seorang muslim yang secara sedar melanggar ajaran Allah (Islam) atau dengan kata lain orang tersebut percaya akan adanya Allah, percaya akan kebenaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW tetapi dalam tindak perbuatannya mereka mengingkari terhadap Allah SWT dan hukumNya, selalu berbuat kerosakan dan kemaksiatan. Firman Allah SWT: t û ï Ï % © ! $ # t b q à Ò à ) Z t ƒ y ‰ ô g t ã « ! $ # . ` Ï B Ï ‰ ÷ è t / ¾ Ï m É ) » s W Š Ï B t b q ã è s Ü ø ) t ƒ u r ! $ t B t  t B r & ª ! $ # ÿ ¾ Ï m Î / b r & Ÿ @ | ¹ q ã ƒ š c r ß ‰ Å ¡ ø ÿ ã ƒ u r ’ Î û Ç Ú ö ‘ F { $ # 4 š  Í ´ ¯ » s 9 ' r é & ã N è d š c r ç Ž Å £ » y ‚ ø 9 $ # Ç Ë Ð È    “(yaitu) orang-orang yang melanggar Perjanjian Allah sesudah Perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk men...

Aliran-aliran Ilmu Tauhid

2.       Aliran-aliran Ilmu Tauhid a.        Jabariyah Ajaran-ajaran dari aliran Jabariyah di antaranya adalah : 1)       Manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya. 2)       Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi. 3)       Ilmu Allah bersifat Huduts (baru) 4)       Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan. 5)       Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya. 6)       Surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata. 7)       Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga. 8)     ...