PEMIKIRAN POLITIK SUNNI
MAKALAH
Dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Siyasah
Dosen pengampu :
Bobang Noorisnan, M.Ag.
Asisten dosen :
Ahmad Damiri, M.Ag.
Oleh:
Irsad
Mamduh Mutaqin
Khaerul
Anwar
Lusy
Intan Maolani
Muhammad
Rifqi Rahmatullah
M.
Ramdan
Abdul
Hamid
AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015 M/1437 H
BAB I
PENDAHULUAN
Doktrin Sunni
memegang peranan penting dalam pemerintahan. Sifat akomodatifnya merupakan karakteristik
penting yang menjadikan doktrin Sunni sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Pemikir-pemikir Islam Sunni klasik seperti al-Mawardi (975-1058 M), al-Ghazali
(1058-1111 M) dan Ibn Taimiyah (1263-1329 M) sangat berperan dalam perumusan
doktrin politik Sunni. Meskipun terdapat nuansa perbedaan, ketiga pemikir Sunni
klasik ini mengembangkan doktrin politik Sunni yang moderat. Ini tentu saja
sangat signifikan dalam meletakkan hubungan yang harmonis antara penguasa dan
rakyat. Stabilitas sosial dan politik akan terjaga dengan baik. Namun pada sisi
lain, pemikiran demikian, pada tataran tertentu melahirkan stagnasi. Tidak
adanya pemikiran radikal yang kritis dan bersifat oposisi terhadap kekuasaan
menjadikan gagasan Sunni sering dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan
sesaat kekuasaan. Akhirnya tidak jarang terjadi hubungan timbal balik yang
saling menguntungkan antara ulama Sunni dan penguasa. Ulama merasa mendapat
patronase dari kekuasaan, sementara penguasa memperoleh justifikasi keagamaan
dari ulama.
Dalam
konteks ini, Indonesia yang mayoritas Sunni ternyata juga mengamalkan doktrin
politik Sunni. Hal ini memiliki akar yang cukup kuat sejak zaman
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sebelum penjajahan Belanda. Para ulama
Nusantara juga merumuskan hubungan yang harmonis antara Islam dan kekuasaan,
sebagaimana yang pernah dirumuskan oleh ulama-ulama Sunni klasik. Tradisi
politik Sunni ini menguat sejalan dengan kuatnya pengaruh ulama di
kerajaan-kerajaan Nusantara. Tulisan ini berusaha mengelaborasi hubungan ulama
Sunni dengan kekuasaan raja-raja di Nusantara dan patronase penguasa Nusantara
terhadap mereka.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asal-usul dan Perkembangan Sunni
Sunni adalah
kelompok mayoritas dalam politik Islam. Keberadaannya dimulai sejak berakhirnya
masa pemerintahan al-Khulafa’ al-Rashidin.
Selain dinamakan dengan Sunni, kelompok ini juga dikenal dengan nama ahl al-hadith wa al-sunnah (kelompok
yang berpegang pada Hadis dan Sunnah), ahl
al-haqq wa al-sunnah (kelompok yang berpegang pada kebenaran dan Sunnah)
dan, seperti dikutip Harun Nasution, ahl
al-haqq wa al-din wa al-jama‘ah (kelompok yang berpegang pada kebenaran,
agama dan jamaah). Menurut Bisri Mustafa, seperti dikutip Zamakhsyari Dhofier,
paham Sunni atau ahl al-sunnah wa
al-jamâ‘ah adalah paham yang berpegang teguh pada: 1) tradisi salah satu
mazhab dari mazhab yang empat dalam bidang fikih (yakni mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi‘i, dan Hanbali); 2) ajaran Abu al-Hasan al-Asy‘ari dan Abu Manshur
al-Maturidi dalam bidang teologi; dan 3) ajaran al-Junaid serta al-Ghazali
dalam bidang tasauf. Selain itu dapat ditambahkan bahwa dalam lapangan politik
paham Sunni berpegang pada doktrin pemikiran kelompok mayoritas yang antara
lain diwakili oleh Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ghazali dan Ibn Taimiyah.
Istilah
Sunni lebih dikenal pemakaiannya dalam konteks politik dan untuk membedakannya
dengan kelompok-kelompok politik lainnya dalam Islam, seperti Syi‘ah dan
Khawarij. Seperti dicatat dalam sejarah, permasalahan pertama yang timbul dalam
tubuh umat Islam adalah tentang suksesi kepemimpinan dari Nabi Muhammad saw.
Dalam karier kenabiannya selama 23 tahun Nabi saw. berhasil membangun sebuah
negara dalam arti yang sebenarnya di Madinah pada tahun ke-13 dari
kerasulannya. Ini penting dicatat karena Negara Madinah telah memiliki
syarat-syarat pokok suatu negara, yaitu wilayah (Madinah dan daerahdaerah
sekitarnya), rakyat (yang terdiri atas umat Islam muhajirin dan ansar, orang-orang
Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang belum beragama Islam lainnya),
pemerintahan (Nabi sebagai kepala negara) dan konstitusi atau undang-undang
dasar (Piagam Madinah).
Setelah
Nabi wafat, timbul masalah siapa yang berhak menggantikan beliau sebagai kepala
negara. Dua hari setelah beliau wafat dan jenazahnya belum dikebumikan,
sebagian besar sahabat mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa‘idah untuk
membicarakan suksesi. Dalam perdebatan alot argumentatif antara muhajirin dan ansar, akhirnya Abu Bakar diangkat menjadi khalifah. Namun
demikian, pengangkatan Abu Bakar ini bukannya tanpa penentangan. Keluarga Nabi,
terutama putrinya Fathimah, menyesalkan pengambilan putusan yang terburu-buru
tersebut sebelum pemakaman Nabi dan tidak mengikutsertakan ahl al-bayt, seperti Ali ibn Abi Thalib. Sebagian kecil sahabat
seperti Zubeir ibn Awwam, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari dan Miqdad ibn
Aswad yang simpati kepada Ali ibn Abi Thalib tidak setuju dengan cara
musyawarah dalam pengangkatan Abu Bakar. Akan tetapi, pertimbangan mayoritas
umat Islam ketika itu adalah kemaslahatan dan kesejahteraan umat yang mungkin
terancam kalau masalah suksesi ini tidak diselesaikan dengan segera.Menurut
mereka yang tidak setuju, orang yang berhak menggantikan Nabi sebagai khalifah
adalah Ali, sesuai dengan wasiat Nabi yang disampaikan di sebuah tempat yang
bernama Ghadir Khumm, setelah beliau bersama rombongan umat Islam selesai
melaksanakan ibadah Haji Wada’. Kelompok ini merupakan cikal bakal lahirnya
Syi‘ah dalam politik Islam.
Terlepas
dari perbedaan di sekitar kualitas dan validitas hadis Ghadir Khumm di atas,
dalam masalah khalifah umat Islam terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok
mayoritas yang belakangan disebut dengan Sunni dan kelompok minoritas Syi‘i.
Polarisasi yang menjurus kepada perpecahan ini semakin memperlihatkan bentuknya
sejak terbunuhnya Khalifah Usman ibn Affan sebagai khalifah ketiga setelah Abu
Bakar dan Umar di tangan umat Islam sendiri. Menghadapi suasana yang kacau
demikian, sebagian umat Islam mengangkat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah
menggantikan Usman. Namun pengangkatan Ali mendapat reaksi keras dari sebagian
umat Islam. Di Mekkah, Thalhah, Zubeir dan ‘Aisyah melakukan perlawanan
terhadap Ali, namun dapat dipatahkan oleh Ali. Dalam “Perang Berunta”, Thalhah
dan Zubeir tewas di tangan tentara Ali, sedangkan ‘Aisyah yang juga memimpin
tentara dengan mengendarai unta (itu sebabnya perang ini dinamakan Perang Jamal atau Perang Berunta), dikembalikan ke Mekkah dan
diperlakukan secara baik.
Sementara
di Damaskus, Mu‘awiyah ibn Abi Sufyan, Gubernur Syam yang masih saudara sepupu
dengan Usman menentang Ali dan menjadikan kematian Usman sebagai alat untuk
menggalang perlawanan. Mu‘awiyah mengangkat senjata melakukan perlawanan
terhadap Ali. Akhirnya terjadilah pertempuran hebat di Shiffin, sebelah selatan
Raqqah di tepi barat sungai Eufrat, Irak. Perang ini berakhir dengan
diadakannya gencatan senjata dan (tahkim)
antara kedua belah pihak. Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy‘ari, seorang tua
yang wara’, jujur dan tidak neko-neko. Sementara Mu‘awiyah diwakili oleh Amr
ibn al-Ash, mantan gubernur Mesir yang juga diplomat ulung. Dalam tahkim
tersebut Ali diturunkan dari jabatan khalifah, sedangkan Mu‘awiyah yang pada
hakikatnya adalah pemberontak memperoleh justifikasi sebagai khalifah
baru.Akhirnya tahkim tidak menyelesaikan masalah, karena dari barisan Ali
banyak yang tidak puas dan membelot keluar menjadi gerakan sempalan. Mereka pun
kemudian dikenal dengan kelompok Khawarij.
Tahkim
ini menandai berakhirnya pemerintahan Ali dan era kekhalifahan al-Khulafa’ al-Rashidun. Sejak saat itu
dimulailah era Dinasti Bani Umaiyah yang sistem pemilihan kepala negara
(khalifah) tidak lagi dilakukan secara musyawarah (shura) tetapi melalui penunjukan dan warisan secara turun-temurun.
Pascatahkim, umat Islam pun terkotak menjadi tiga kelompok, yaitu pendukung Ali
(yang kemudian disebut shi‘at ‘Ali
atau Syi‘ah saja), kelompok sempalan yang keluar dari barisan Ali (Khawarij)
dan kelompok mayoritas. Kelompok terakhir ini pada gilirannya dikenal dalam
sejarah sebagai kelompok Sunni atau ahl
al-sunnah wa aljama‘ah. Sesuai dengan sikapnya yang moderat, kelompok Sunni menerima kepemimpinan
Mu`awiyah dan dinasti Bani Umaiyah pada umumnya. Bahkan ketika Mu`awiyah mewariskan
kekhalifahan kepada anaknya Yazid, kaum Sunni dapat menerimanya. Kelompok Sunni
beralasan bahwa Yazid adalah penguasa Islam secara de facto. Mempertanyakan otoritasnya sebagai khalifah adalah
tindakan subversif yang dapat mengakibatkan pelakunya dihukum mati. Dalam
perkembangannya, doktrin Sunni sering dijadikan alat legitimasi bagi kekuasaan
khalifah. Karena kecenderungannya yang akomodatif, kelompok Sunni sering
berperan dalam proses kekuasaan. Berikut akan dipaparkan doktrin-doktrin Sunni
yang cenderung akomodatif tersebut.
B.
Doktrin Politik Sunni
Sebagai
kelompok mayoritas, ciri umum pemikiran politik ketatanegaraan Sunni klasik
ditandai oleh pandangan mereka tentang hubungan yang integral antara agama dan
negara, pandangan yang bersifat khalifah sentris yang mengharuskan rakyat
tunduk dan patuh pada perintahnya, pengutamaan suku Quraisy sebagai kepala
negara, penolakan terhadap oposisi dan sikap akomodatif terhadap kekuasaan.
Pandangan tokoh-tokoh Sunni pada gilirannya membawa pada prinsip lebih mengutamakan
keharmonisan dalam politik Islam. Uraian berikut mencoba memaparkan ciri-ciri
dan kecenderungan doktrin politik Sunni tersebut.
1.
Hubungan Integral antara Agama dan Negara
Di
kalangan pemikir Sunni terdapat pandangan bahwa pembentukan negara merupakan
kewajiban. Menurut al-Mawardi, imamah
(negara) dibentuk dalam rangka menggantikan posisi kenabian (nubuwwah) untuk melindungi agama dan
mengatur kehidupan dunia (al-imamah
mawdu‘ah li khilafat al-nubuwwah fi hirasat al-din wa siyasat aldunya). Pelembagaan
imamah, menurut al-Mawardi, adalah
fardu kifayah berdasarkan ijma` ulama. Pandangannya ini didasarkan pada
realitas sejarah al-Khulafa’ al-Rashidun dan
khalifah-khalifah sesudah mereka, baik Bani Umaiyah maupun Bani Abbas, yang
merupakan lambang kesatuan politik umat Islam ketika itu. Ini juga sejalan
dengan kaidah ushul fiqh ma la yatimmu
al-wajib illa bihi fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak sempurna terpenuhi
kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat tersebut juga wajib
dipenuhi). Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah kewajiban
umat Islam, sedangkan sarana atau alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut
adalah negara, maka mendirikan negara juga wajib (fard}
kifayah). Hal ini juga
sesuai dengan kaidah amr bi shay’ amr bi
wasa’ilih (perintah untuk mengerjakan sesuatu berarti juga perintah untuk
mengerjakan penghubung-penghubungnya). Negara adalah alat atau penghubung untuk
menciptakan kemaslahatan bagi manusia.
Pendapat
al-Mawardi di atas juga sejalan dengan pemikiran al-Ghazali. Menurutnya,
manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain.
Di sinilah perlunya mereka hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian,
pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis duniawi, melainkan
juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat kelak. Berdasarkan pandangan di
atas alGhazali berpendapat bahwa kewajiban pembentukan negara dan pemilihan
kepala negara adalah berdasarkan kewajiban agama (Shar‘i), bukan rasio.
Kesejahteraan dan kebahagiaan akhirat tidak tercapai tanpa pengamalan dan
penghayatan agama secara benar. Agama dan negara (pemimpin negara) bagaikan dua
saudara kembar yang lahir dari rahim seorang ibu. Keduanya saling melengkapi.
Berbeda
dengan dua pemikir Sunni di atas, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa mengatur
urusan umat memang merupakan kewajiban agama yang terpenting, tetapi hal ini
tidak berarti pula bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara. Ibn Taimiyah
menolak landasan ijma‘ sebagai alasan pembentukan negara seperti dalam pandangan
al-Mawardi. Ia lebih menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Ibn Taimiyah,
kesejahteraan manusia tidak dapat tercapai kecuali hanya dalam satu tatanan
sosial di mana setiap orang saling bergantung dan membutuhkan antara satu
dengan yang lainnya. Oleh sebab itu dibutuhkan seorang pemimpin yang akan
mengatur kehidupan sosial tersebut. Bagi Ibn Taimiyah, penegakan institusi
negara bukanlah atas dasar agama, melainkan hanya kebutuhan praktis saja. Namun
demikian, Ibn Taimiyah juga menekankan fungsi negara untuk membantu agama.
Dalam kesempatan lain, Ibn Taimiyah menyatakan bahwa kesejahteraan umat Islam
tidak mungkin dapat tercipta baik di dunia maupun di akhirat kecuali melalui
institusi negara.
Meskipun
berbeda, ketiga pemikir Sunni ini merumuskan hubungan yang integral antara
agama dan negara. Bagi mereka, negara adalah alat untuk melaksanakan
ajaranajaran agama. Al-Mawardi dan al-Ghazali menyatakannya secara tegas,
sementara Ibn Taimiyah memberi sinyal secara implisit saja. Ketiga pemikir
Sunni ini menekankan kewajiban mendirikan institusi negara. Kalau al-Mawardi
dan al-Ghazali menyatakannya sebagai fardu
kifayah berdasarkan ijma‘, Ibn Taimiyah menganggapnya sebagai kewajiban
berdasarkan pertimbangan sosiologis dan rasional.
2.
Kepatuhan kepada Penguasa
Berdasarkan
pendapat mereka tentang kewajiban mendirikan negara, ketiga pemikir Sunni di
atas sepakat tentang pentingnya kepatuhan kepada kepala negara. Mereka
menganggap kepala negara sebagai sosok yang sentral dalam pemerintahan Islam.
Otoritasnya tidak boleh digugat dan perintahnya tidak boleh dibantah. Dalam
batas-batas tertentu bahkan kepatuhan ini bersifat mutlak.
Al-Mawardi
memulai pendapatnya tentang kepatuhan kepada kepala negara dengan proses
pemilihan kepala negara. Menurut al-Mawardi, pemilihan kepala negara harus
memenuhi unsur ahl al-ikhtiyar (orang
yang berhak memilih) dan ahl al-imamah (orang
yang berhak menduduki jabatan kepala negara). Unsur pertama harus memenuhi
kualifikasi adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara serta mempunyai
wawasan yang luas dan kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yang
terbaik untuk negara. Kemudian, calon kepala negara harus memenuhi tujuh
persyaratan, yaitu adil, memiliki ilmu yang memadai untuk berijtihad, sehat
panca indranya, memliki kemampuan menjalankan perintah agama demi kepentingan
rakyat, berani melindungi wilayah kekuasaan Islam, berjuang memerangi musuh
serta berasal dari keturunan Quraisy.11 Ahl al-ikhtiyar inilah yang dalam teori al-Mawardi disebut dengan ahl al-h}all wa al‘aqd (orang-orang
yang dapat melepas dan mengikat). Kepala negara dipilih berdasarkan kesepakatan
mereka. Dari kontrak ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara
kepala negara sebagai pemegang amanah dan rakyat sebagai pemberi amanah. Kepala
negara wajib menjalankan pemerintahannya dengan baik dan sesuai dengan
ajaranajaran agama. Sebagai balasannya, kepala negara berhak mendapatkan
kepatuhan dari rakyat. Di sisi lain, rakyat yang telah memberikan bay‘at mereka
atas kepala negara wajib taat kepada kepala negara. Kewajiban taat ini tidak
terbatas hanya untuk kepala negara yang baik dan adil, tetapi juga untuk kepala
negara yang jahat.
Al-Mawardi
melandaskan pandangannya pada surat al-Nisa’, ayat:59 yang mewajibkan umat
Islam taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ulu
al-amr di antara mereka. Selain itu, al-Mawardi juga mengutip hadis Nabi
dari Abu Hurairah yang menyatakan: “Kelak akan ada pemimpin-pemimpin kamu
sesudahku, baik yang adil maupun yang jahat. Dengarkan dan taatilah mereka
sesuai dengan kebenaran. Kalau mereka baik, maka kebaikan itu untuk kamu dan
mereka. Jika mereka jahat, maka akibat baiknya untuk kalian dan kejahatannya
akan kembali kepada mereka.”
Meskipun
demikian, al-Mawardi juga menegaskan kemungkinan tidak bolehnya umat taat
kepada penguasa apabila pada dirinya terdapat salah satu dari tiga hal, yaitu
menyimpang dari keadilan (berbuat fasik), kehilangan salah satu fungsi organ
tubuhnya dan dikuasai oleh orang dekatnya atau ditawan oleh musuh. Sikap tidak
adil kepala negara dapat dilihat dari kecenderungannya memperturutkan syahwat
(nafsu) seperti melakukan perbuatan yang dilarang agama dan mungkar serta
hal-hal yang syubhat. Perbuatan-perbuatan tersebut menjatuhkan kredibilitas
kepala negara sebagai pemimpin, sehingga ia tidak pantas memangku jabatannya
lagi.
Prinsip
kepatuhan kepada kepala negara juga sangat ditekankan oleh al-Ghazali. Dalam
bukunya al-Tibr al-Masbuk, al-Ghazali
menyatakan bahwa Allah telah memilih dua kelompok manusia. Pertama adalah para Nabi dan Rasul Allah. Mereka diutus untuk
memberikan penjelasan kepada manusia lainnya tentang petunjuk dan dalil-dalil
beribadah kepada-Nya. Mereka juga menjelaskan kepada manusia bagaimana cara
mengenal Allah. Kedua adalah
penguasa. Kelompok ini diutamakan Allah karena mereka dapat menjaga umat
manusia dari sikap permusuhan antara satu dengan yang lainnya. Kemaslahatan
umat manusia di bumi sangat terkait erat dengan keberadaan penguasa ini. Dengan
kekuasaan yang mereka miliki, Allah menempatkan mereka pada posisi yang paling
terhormat. Untuk itu, mesti diketahui bahwa orang yang diberi pangkat oleh
Allah sebagai penguasa dan dijadikan sebagai pengayom Tuhan di muka bumi, maka
setiap orang wajib mencintai, tunduk dan mematuhinya. Mereka tidak dibenarkan
mendurhakai dan menentangnya. Sebagaimana firman Allah, Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan uli
al-amri di antara kamu. Al-Ghazali menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara
berasal dari Tuhan dan penguasa adalah bayang-bayang Tuhan di muka bumi (zill Allah fi al-ard). Karena penguasa
menurut al-Ghazali dipilih oleh Tuhan, Munawir Sjadzali menyimpulkan bahwa
sistem pemerintahan dalam gagasan al-Ghazali adalah teokrasi.
Al-Ghazali
juga merumuskan syarat-syarat kepala negara secara rinci. Menurutnya, kepala
negara harus memenuhi kualifikasi dewasa, otak yang sehat, merdeka, laki-laki,
keturunan Quraisy, memperoleh hidayah dan ilmu pengetahuan serta wara’. Bagi
alGhazali, karena kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat, seperti
pendapat alMawardi, tetapi dari Tuhan, maka kekuasaan kepala negara adalah suci
dan tidak boleh dibantah. Kepala negara menempati posisi sentral dalam negara.
Ibn
Taimiyah mengembangkan konsep ahl
al-shawkah dalam teori politiknya. Menurut Ibn Taimiyah, ahl al-shawkah ini merupakan orang-orang
yang berasal dari berbagai kalangan dan kedudukan yang dihormati dalam
masyarakat. Ahl al-shawkah inilah yang
memilih kepala negara dan melakukan bay‘at yang kemudian diikuti oleh rakyat.
Seseorang tidak dapat menjadi kepala negara tanpa dukungan dari ahl al-shawkah.
Berbeda
dengan al-Mawardi dan al-Ghazali prosedur pemilihan kepala negara tidak terlalu
menyita perhatian Ibn Taimiyah. Ini wajar, karena Ibn Taimiyah menolak teori
khilafah Sunni tentang pengangkatan kepala negara oleh ahl al-h}all
wa al-‘aqd, sebagaimana
dielaborasi oleh al-Mawardi, dan konsep bay‘at oleh segelintir ulama. Ibn
Taimiyah hanya menetapkan syarat kejujuran (amanah)
dan kewibawaan atau kekuatan (quwwah)
bagi seorang kandidat kepala negara dan tidak memutlakkan suku Quraisy.
Indikasi kejujuran seseorang dapat dilihat dari ketakwaannya kepada Allah,
ketidakbersediaannya menjual ayat-ayat Allah demi kekayaan duniawi dan
kepentingan politik praktis serta sikap tidak takutnya kepada manusia selama ia
berada dalam kebenaran. Untuk mendukung pendapatnya, Ibn Taimiyah mengutip ayat
Al-Quran surat al-Nisa’, ayat: 58, yang memerintahkan umat Islam untuk
menyerahkan amanah kepada yang berhak menerimanya.
Sementara
syarat quwwah memegang peranan
penting dalam konsepsi politik Ibn Taimiyah, karena seorang kepala negara
adalah pembimbing dan pengayom masyarakat. Tugas dan tanggung jawabnya sangat
berat dengan otoritas tertinggi yang diperolehnya dalam masyarakat. Menurutnya,
kewajiban kepala negara adalah menegakkan institusi amar ma‘ruf nahy munkar, sehingga hal-hal yang dikehendaki Allah
dapat terwujud dalam kehidupan umat Islam dan hak-hak individu terjamin dalam
masyarakat.
Kelanjutan
dari pendapat Ibn Taimyah ini adalah penekanannya terhadap kepatuhan rakyat
pada kepala negara. Memang, seperti halnya al-Mawardi dan al-Ghazali, Ibn
Taimiyah memandang figur kepala negara memegang posisi penting dalam negara.
Sebagai pemimpin umat Islam, kepala negara harus ditaati, bahkan sekalipun
zalim. Menurut Ibn Taimiyah, sebuah masyarakat yang enam puluh tahun dipimpin oleh
kepala negara yang zalim lebih baik daripada masyarakat tanpa negara dan pimpinan,
meskipun hanya semalam.
Dari
pemikiran tentang kekuasaan kepala negara di atas, ketiga ulama Sunni ini
merumuskan pemikiran bahwa tidak boleh ada oposisi atau perlawanan terhadap
kepala negara. Al-Mawardi menyatakan hadis Nabi, seperti dikutip di atas, untuk
mendukung pendapatnya bahwa kepala negara bersifat mutlak kekuasaannya.
Melakukan oposisi— meskipun al-Mawardi mengembangkan teori kontrak
sosial—adalah hal yang dilarang. Hal yang sama juga ditegaskan oleh al-Ghazali.
Bagi H{ujjat al-Islam ini,
wajib hukumnya atas rakyat dari tingkat mana pun untuk taat secara mutlak
kepada kepala negara dan melaksanakan perintahnya. Ibn Taimiyah mengemukakan
larangan oposisi ini secara lebih tegas lagi.
Larangan
oposisi dalam pemikiran politik Sunni klasik ini lebih didasarkan pada akibat
buruk yang mungkin terjadi dalam masyarakat. Sangat mungkin akan timbul suasana
chaos dalam negara bila rakyat
melakukan oposisi terhadap kepela negara. Karena itu, bagi mereka,
menghindarkan kekacauan yang lebih besar merupakan hal yang perlu diambil.
Lebih baik berada dalam suasana pemerintahan yang despotik, umpamanya, namun
masyarakat tidak bergolak, daripada menolak kepemimpinannya sehingga menimbulkan
gejolak dalam masyarakat. Karena itu, bagi ketiga pemikir Sunni ini, kepala
negara adalah bayang-bayang Allah di muka bumi (zill Allah fi al-ard).
C.
Tradisi Politik Sunni
di Indonesia
Islamisasi
di Nusantara muncul sebagai gejala politik. Konversi raja-raja Melayu di
Nusantara ke dalam agama Islam merupakan kekuatan politik yang berperan sangat
signifikan dalam pengislaman masyarakat kerajaan Nusantara. Dalam perkembangan
berikutnya, setelah Islam mulai berakar dalam masyarakat, peran saudagar muslim
dalam penyebaran Islam digantikan dan diambil alih oleh ulama. Mereka bertindak
sebagai guru dan penasihat raja atau sultan. Banyak ulama Sunni yang mempunyai
hubungan yang baik dan mendapat patronase dari raja-raja lokal. Nuruddin
al-Raniri (w. 1068 H/1658 M) adalah salah satu contoh dari kasus ini. Ia
memperoleh patronase dari Sultan Iskandar Tsani di Aceh (yang memerintah pada
tahun 1636-1642 M) dan menjalankan fungsi sebagai penasihat Sultan (Shaykh al-Islam). Bahkan pada masa
pemerintahan pengganti Iskandar Tsani, Sultanah Safiatuddin Taj al-Alam
(1642-1675 M), posisi al-Raniry sangat kuat tidak hanya dalam bidang agama,
tetapi juga dalam masalah-masalah politik, ekonomi dan lainnya.
Posisi
Shaykh al-Islam dalam
kerajaan-kerajaan Melayu mirip dengan kerajaan Usmani di Turki yang juga
bermazhab Sunni. Dalam kerajaan Usmani, Shaykh
al-Islam memegang peranan penting dalam masalah-masalah agama. Ia membantu
tugas-tugas Sultan (raja) dalam menjalankan perannya mengurus persoalan
keagamaan umat Islam. Ini wajar, karena dalam tradisi politik Sunni, dinasti
Usmani merupakan lambang kekuatan politik umat Islam.
Para
raja kerajaan Melayu Nusantara meminta justifikasi kekuasaan mereka kepada
dinasti Usmani, sehingga putusan-putusan politik yang dikeluarkan oleh kerajaan
dapat dianggap Syar‘i. Para penguasa muslim Nusantara pada umumnya ingin bahwa
entitas politik mereka diakui oleh otoritas politik keagamaan Timur Tengah
sebagai bagian dari dar al-Islam (wilayah
Islam). Karena itu bisa dipahami mengapa Kesultanan Aceh dan
kesultanan-kesultanan lainnya di Nusantara menyatakan diri sebagai vassal state (negara pengikut atau
protektorat) Khilafah Usmani.Kerajaan Nusantara memiliki hubungan diplomatik
yang erat dengan Dinasti Usmani. Beberapa kali utusan Aceh datang ke Istambul
mulai dari tujuan untuk mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari vassal state Usmani hingga permohonan
bantuan militer dalam menghadapi Portugis yang sejak awal abad ke-16 telah
menguasai kawasan Samudra Hindia.
Pentingnya
posisi ulama di kerajaan-kerajaan Nusantara memiliki arti bahwa Islam memegang
peranan penting dalam proses politik dan pengambilan keputusan. Dalam proses
ini Islam mengalami proses pelembagaan dan menjadi bagian yang inheren dalam
sistem sosial dan pembentukan budaya. Islam muncul sebagai landasan ideologi
kekuasaan. Di sini ulama berperan sebagai pengesah kekuasaan raja.
Dalam
Taj al-Salat}in dijelaskan bahwa nubuwwah
dan kerajaan, nabi dan raja, adalah ibarat sebuah cincin dengan dua permata
yang harus dipelihara. Para rasul memainkan fungsi nubuwwah, yaitu fungsi keagamaan, menyuruh orang berbuat kebaikan,
menegakkan keadilan dan kebenaran serta melarang perbuatan-perbuatan jahat dan
tercela lainnya. Sementara hukumah
(kerajaan) memainkan fungsi politik, menjaga manusia dari segala bentuk
kejahatan dan kesewenang-wenangan. Bukhari al-Jauhari bahkan menegaskan bahwa
Allah Swt. memerintahkan nabi untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan hukumah ini dan menunjukkan perintah
kerajaan itu kepada seluruh umat agar mengikutinya.
Dari
penjelasan dan kutipan di atas terlihat dalam pemikiran ulama Sunni di
Indonesia hubungan yang tidak terpisahkan antara kekuasaan agama dan kekuasaan
politik, antara ulama dan raja, dalam praktik politik di kerajaan Nusantara.
Rumusan ini sejalan dengan pemikiran al-Ghazali yang menekankan hubungan
integral kedua kekuasaan tersebut dan mengistimewakan para nabi dan penguasa
atas segenap manusia, sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Dekatnya
hubungan antara ulama dengan kekuasaan politik memperlihatkan kontinuitas
doktrin Sunni yang memang tidak menjaga jarak dengan kekuasaan. Doktrin Sunni
yang cenderung akomodatif dengan penguasa membuat para ulama Sunni dapat
menerima kekuasaan raja, meskipun absolut. Mengikuti pemikiran al-Mawardi bahwa
imamah (negara) dibentuk untuk
menggantikan posisi kenabian dalam rangka menjaga agama dan mengatur kehidupan
dunia, maka para ulama Sunni mengambil sikap yang dekat dengan kekuasaan. Ulama
merasa bertanggung jawab untuk mengarahkan kekuasaan politik raja agar sesuai
dengan semangat ajaran Islam.
Hubungan
ini mempunyai dua keuntungan sekaligus secara timbal balik bagi raja (sultan)
dan ulama. Raja dapat memperoleh justifikasi kekuasaannya melalui bahasabahasa
agama, sesuatu yang sangat diperlukan baginya untuk memperoleh dukungan rakyat;
sebaliknya ulama memperoleh kedudukan khusus di Istana, sehingga lebih mudah
menyampaikan pesan-pesan moral kepada raja dan masyarakat.
Dalam
kedudukannya yang dekat dengan kekuasaan, ulama mengembangkan doktrin politik
Sunni dengan menulis kitab panduan bagi kekuasaan. Nuruddn al-Raniri,
umpamanya, menulis buku tentang Islam dan kekuasaaan politk berjudul Bustan al-Salatin (Taman para Raja), dan
Raja Ali Haji (1809-1870) menulis kitab Thamarat
al-Muhimmah (Buah yang Penting). Sejalan dengan pemikiran politik Sunni
klasik, para ulama Sunni di Nusantara tidak menggugat absolutisme kekuasaan
raja, bahkan cenderung mendukung dan memperkuatnya. Al-Raniry menyatakan bahwa
umat Islam wajib mengikuti raja, sekalipun ia zalim (despotik). Al-Raniry,
seperti dikutip Azyumardi, bahkan mengutip hadis yang berbunyi bahwa siapa yang
mati dalam keadaan tidak mengenal rajanya, maka ia mati dalam keadaan durhaka.
Seperti
halnya konsep Sunni bahwa penguasa adalah bayang-bayang Allah di muka bumi (zill Allah fi al-ard), beberapa ulama
Sunni di kerajaan-kerajaan Melayu juga mengembangkan konsep demikian. Dalam
sejarah tercatat bahwa Merah Silu (Sultan Malik al-Salih)adalah raja yang
pertama kali menggunakan gelar zill Allah
fi al-ard (bayangbayang Allah di alam semesta), sebuah gelar yang kurang
lebih sama dengan yang berlaku pada raja-raja dinasti Bani Abbas. Gelar ini juga
digunakan oleh al-Raniry dalam karyanya Bustan
al-Salatin untuk menyebut raja-raja Kesultanan Aceh. Hal yang sama juga
terjadi di kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Dalam sistem politik di Mataram,
sejak Amangkurat IV (memerintah 1719-1727), raja-raja Mataram memperkuat posisi
politiknya dengan memberi warna keagamaan melalui gelar khalifat Allah.
Demikianlah
tradisi politik Sunni yang berkembang di dalam kerajaan-kerajaan Islam
Nusantara. Raja atau sultan menempati posisi sentral dalam politik. Kekuasaannya
bersifat absolut dan tidak boleh diganggu gugat. Sejajar dengan garis pemikiran
al-Mawardi, al-Ghazali dan Ibn Taimiyah pada abad klasik, pemikiran-pemikiran
ulama masa lalu di kerajaan-kerajaan Nusantara juga memperlihatkan
kecenderungan yang akomodatif dan kepatuhan mutlak kepada penguasa. Karena
penguasa merupakan bayang-bayang Allah di muka bumi, maka rakyat wajib patuh
kepadanya dan tidak boleh durhaka, meskipun ia berlaku zalim.
Alasan
kepatuhan mutlak ini juga sejajar dengan alasan yang dikemukakan oleh para
ulama klasik. Dalam Taj al-Salatin dijelaskan
bahwa kepatuhan terhadap raja yang zalim adalah untuk menghindari kekacauan
yang lebih besar yang tentu saja sangat berdampak negatif bagi kehidupan sosial
politik umat Islam. Dalam hal ini pengarang Taj
al-Salatin berpegang pada prinsip akhaff
al-d}ararayn
(memilih isiko yang
paling ringan dari dua risiko yang dihadapi). Membiarkan raja dengan
kezalimannya dipandang lebih menguntungkan dan lebih kecil risikonya daripada
menolak kekuasaannya dan melakukan pemberontakan terhadap raja. Biaya sosial
yang ditimbulkannya akan lebih besar daripada mematuhinya dalam kezalimannya.
Ketika
menerangkan tentang surat al-Nisa’, 4:59 yang memerintahkan umat beriman
mengikuti Allah, mengikuti Rasul dan ulu
al-amr di antara mereka, pengarang Taj
al-Salatin menyatakan:
“Soal
dalam ayat itu, mengatakan turut kamu akan Allah dan akan Rasulullah dan akan
segala yang mempunyai hukum daripada kau tiada dibezakan (dibedakan, pen.) pada
antara baik jika dan jahat oleh segala raja-raja itu. Maka haruslah kami akan
segala raja-raja seperti mereka itu dengan segala nabi dalam pekerjaan kerajaan
itu; seperti kami turut akan segala raja-raja yang benar pada dua perkara;
seperkara kami turut akan dia pada segala katanya dan kedua perkara kami turut
akan dia pada segala pekerjaan. Maka harus kami turut segala raja-raja yang
salah itu, juga pada katanya dalam pekerjaan kerajaan dan bukan kerjanya yang
salah itu.
Soal
mereka itu yang salah dalam hukum jika kami harus menyangkal kerjanya, maka
betapa kami dapat turut katanya itu…. jikalau kami tiada turut katanya maka
kami tiada memuliakan adanya akan pekerjaan kerajaan itu menjadi fitnah dan
fasad dalam negeri dan daripada kesukaran itu banyak hamba Allah daripada
mukmin dan kafir binasa. Maka kami turut akan hukumnya kerana menolakkan fitnah
dan fasad itu daripada kami, bukan kerana kemuliaan raja itu”.
Ini
menunjukkan bahwa pemikiran politik Islam Sunni klasik memegang peranan yang
penting dalam tradisi politik Islam di Indonesia. Sebagai kelompok yang
mayoritas, tradisi pemikiran politik Sunni berakar kuat sekali sejak zaman
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Kalau pada masa modern sekarang kita temukan
tradisi politik yang akomodatif dan mengutamakan keharmonisan, maka ini adalah
suatu gejala yang wajar, karena memang doktrin Sunni mengajarkan hal demikian.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari kajian di atas, terlihat bahwa
paradigma politik Sunni klasik telah berurat berakar sejak Islam masuk ke
Nusantara. Paradigma ini dikembangkan oleh para ulama Sunni yang mendapat
perlindungan dari kekuasaan. Pendekatan paradigma politik Sunni klasik yang
memandang kepala negara memegang posisi sentral dalam negara, mengutamakan
harmonisasi sosial politik dan menolak oposisi terhadap kepala negara, terasa
sangat kental dalam pemikiran ulama Nusantara. Kajian ini juga mempertegas
bahwa pemikiran-pemikiran yang kritis revolusioner dan dinamis sulit muncul
dari kelompok yang memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang sakral dari Tuhan
dan pemegangnya harus dipatuhi hamper secara mutlak.
DAFTAR
PUSTAKA
Hitti,
Philip K. History of the Arabs.
London: Macmillan Press, 1970.
Iqbal,
Muhammad. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Khan, Qamaruddin. Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, terjemahan oleh Anas Mahyuddin,
Bandung: Pustaka, 1995.
Mudzhar,
Mohammad Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesnia 1975-1988.
Jakarta: INIS, 1993.
Nasution,
Harun. Teologi Islam Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Sjadzali,
Munawir. Islam dan Tata Negara,
Jakarta: UI Press, 1990.
www.google.com
Caesars Palace in Las Vegas - DrMCD
BalasHapusCaesars 밀양 출장마사지 Palace is an iconic 대구광역 출장샵 destination in Las Vegas, Nevada. Learn more about the 김천 출장마사지 casino's culture, cuisine, gaming, 경주 출장샵 and 전주 출장마사지 attractions.