1. Persamaan dan perbedaan hibah dan wasiat
Persamaan dan perbedaan hibah dan wasiat dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
HIBAH
|
WASIAT
|
|
Waktu
|
Sebelum Wafat
|
Setelah Wafat
|
Penerima
|
Ahli waris & bukan ahli waris
|
Bukan ahli waris
|
Nilai
|
Maksimal 1/3
|
Maksimal 1/3
|
Hukum
|
Sunnah
|
Sunnah
|
Perbedaan hibah dan wasiat dari segi pengertian yaitu : Harta
Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma
pada masa hidupnya. Sedangkan Harta Wasiat adalah harta yang diwasiatkan seseorang
sebelum meninggal dunia dan seseorang tersebut baru berhak menerimanya setelah
yang memberi wasiat meninggal dunia.
2.
Pengertian Hibah dan Wasiat
a.
Hibah
dan Wasiat Menurut Fiqih
Kata Hibah
berasal dari bahasa Arab ( ةبه ) kata ini merupakan mashdar dari kata
( بهو
) yang berarti pemberian. Apabila seseorang memberikan harta miliknya kepada
orang lain secara suka rela tanpa pengharapan balasan apa pun, hal ini dapat diartikan bahwa si pemberi
telah menghibahkan miliknya. Karena itu kata hibah sama artinya dengan
pemberian. Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa pihak penghibah
bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan, hibah merupakan salah
satu bentuk pemindahan hak milik jika dikaitkan dengan perbuatan hukum.
Jumhur ulama
mendefinisikan hibah sebagai akad yang mengakibatkan pemilikan harta tanpa
ganti rugi yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara suka rela. Ulama mazhab
Hambali mendefinisikan hibah sebagai pemilik harta dari seseorang kepada orang lain
yang mengakibatkan orang yang diberi hibah boleh melakukan sesuatu tindakan
hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu maupun tidak, bedanya
ada dan dapat diserahkan, penyerahannya dilakukan ketika pemberi masih hidup
tanpa mengharapkan imbalan. Kedua definisi itu sama-sama mengandung makna
pemberian harta kepada seseorang secara langsung tanpa mengharapkan imbalan apa
pun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia
Hukum Islam, cet. 1. h. 540).
Menurut
beberapa madzhab hibah diartikan sebagai berikut:
1)
Memberikan
hak memiliki suatu benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti
pemberian ini dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Dengan syarat benda
yang akan diberikan itu adalah sah milik si pemberi (menurut madzhab Hanafi).
2)
Memberikan
hak sesuatu materi dengan tanpa mengharapkan imbalan atau ganti. Pemberian
semata-mata hanya diperuntukkan kepada orang yang diberinya tanpa mengharapkan
adanya pahala dari Allah SWT. Hibah menurut madzhab ini sama dengan hadiah.
Apabila pemberian itu semata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala-Nya.
Menurut madzhab Maliki ini dinamakan sedekah.
3)
Pemberian
hanya sifatnya sunnah yang dilakukan dengan ijab dan qobul pada waktu si
pemberi masih hidup. Pemberian mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan
seseorang dan tidak dimaksudkan untuk mendapat pahala dari Allah karena menutup
kebutuhan orang yang diberikannya. (menurut madzhab Syafi'i). (Idris Ramulyo, Perbandingan
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW), h.
145-146 )
Dari beberapa
definisi ini, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hibah adalah:
1)
Merupakan
akad atau perjanjian
2)
Pemberian
cuma-cuma atau pemberian tanpa ganti
3)
Banda
(barang) yang dihibahkan mempunyai nilai
4)
Hibah
dapat dilaksanakan oleh seseorang kepada orang lain, oleh seseorang kepada
badan-badan tertentu, juga beberapa orang yang berserikat kepada yang lain.
Sedangkan kata wasiat (washiyah) diambil dari kata washshaitu
asy-syaia, uushiihi, artinya aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka
muushii (orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu
dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).
Menurut Amir
Syarifuddin secara sederhana wasiat diartikan dengan: “ penyerahan harta kepada
pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya “.
Menurut istilah syara’
wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang
ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang
berwasiat mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).
b.
Hibah
dan Wasiat Menurut KHI
Kompilasi Hukum Islam (KHI Pasal 171 huruf g), hibah adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf (f) disebutkan bahwa
wasiat adalah pemberian suatu benda dari
pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Klausul dari
wasiat yang terdapat dalam pasal tersebut
adalah suatu pemberian yang baru akan berlaku (mempunyai kekuatan hukum
tetap) apabila pewasiat telah meninggal dunia.
3.
Syarat dan Tata Cara (Prosedur) Hibah dan Wasiat Menurut Fiqih dan
Qanun
Syarat-syarat
hibah:
a.
Syarat-syarat
penghibah
Disyaratkan bagi penghibah syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Penghibah
memiliki sesuatu untuk dihibahkan
2)
Penghibah
bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
3)
Penghibah
itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
4)
Penghibah
itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang memper-syaratkan keridhaan dalam
keabsahannya.
b.
Syarat-syarat
bagi orang yang diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi
hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam
bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada di
waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil
oleh walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing.
c.
Syarat-syarat
bagi yang dihibahkan
Disyaratkan bagi yang dihibahkan:
1)
Benar-benar
ada
2)
Harta
yang bernilai
3)
Dapat
dimiliki zatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa dimiliki,
diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah
menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid atau
pesantren-pesantren.
4)
Tidak
berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon,
atau bangunan tanpa tanahnya.
5)
Dikhususkan,
yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu
tidak sah kecuali bila ditentukan (dikhususkan) seperti halnya jaminan. (Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah 14, Terj: Mudzakir, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1987),
hal. 178.)
Syarat dan tata
cara hibah berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagai berikut:
1)
Pemberi
hibah harus sudah dewasa, yakni cakap menurut hukum, kecuali dalam hak yang
ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku ke satu Kitab Undang–Undang Hukum
Perdata (Pasal 1667 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
2)
Suatu
hibah harus dilakukan dengan suatu akta Notaris yang aslinya disimpan oleh
Notaris (Pasal 1682 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
3)
Suatu
hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan suatu akibat mulai dari
penghibahan dengan kata-kata yang tegas yang diterima oleh si penerima hibah
(Pasal 1683 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
4)
Penghibahan
kepada orang yang belum dewasa yang berada di bawah kekuasaan orang tua harus
diterima oleh orang yang melakukan kekuasaan orang tua (Pasal 1685 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata).
Sebelum
lahirnya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bagi
mereka yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akta hibah harus
dibuat dalam bentuk tertulis dari Notaris sebagaimana yang disebutkan di atas,
namun, setelah lahirnya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, setiap
pemberian hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT).
Mengenai
bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT (termasuk akta hibah) terdapat
dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 8 Tahun
2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pada dasarnya,
baik dalam hukum
Islam, Kompilasi Hukum
Islam dan KUH Perdata mengatur tentang syarat-syarat yang
harus dipenuhi dalam suatu wasiat. Meskipun
dalam Hukum Islam
syarat-syarat wasiat mengikuti
rukun-rukunnya. Hal-hal yang termasuk syarat wasiat dalam Hukum Islam,
Kompilasi Hukum Islam dan KUH Perdata
antara lain orang yang berwasiat, orang yang diberi wasiat, benda yang diwasiatkan
dan redaksi wasiat. Akan
tetapi dalam penerapannya terdapat
perbedaan di antara ketiga hukum ini, yaitu:
1)
Orang
yang berwasiat.
Menurut Hukum
Islam, orang yang
berwasiat (disebut mushiy) harus mempunyai syarat
dewasa, berakal sehat
dan atas kehendak sendiri, bukan paksaan dari orang lain. Dewasa yakni
sudah baligh dan mampu membedakan hal yang baik dan buruk. Sehingga
tidak sah wasiat yang dilakukan oleh anak kecil yang belum mumayyiz dan
orang gila.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, orang
yang berwasiat disyaratkan telah berumur
sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal
sehat dan dibuat tanpa
ada paksaan dari orang lain. Kompilasi Hukum Islam menggunakan batasan
umur minimal 21 tahun adalah
orang yang benar-benar
telah dewasa menurut Undang-undang, untuk menentukan bahwa
pada umur tersebut seseorang telah dianggap
telah mampu melakukan
perbuatan-perbuatan hukum. Berbeda dengan batasan baligh
menurut Hukum Islam.
Seorang laki-laki yang dikatakan dewasa apabila sudah pernah bermimpi basah dan keluar sperma atau
perempuan yang sudah mengalami haidh walau
dari segi umur masih di bawah 15 tahun. Hal ini berdasarkan
alasan bahwa pada umumnya anak-anak di Indonesia, pada usia di bawah 21 tahun
dipandang belum mempunyai hak kepemilikan karena masih menjadi tanggungan orang
tuanya. Akan tetapi hal ini diikuti perkecualian, yakni orang-orang yang
telah melangsungkan pernikahan meskipun
belum berumur 21 tahun. Sesuai dengan bunyi pasal 15 Kompilasi Hukum Islam yang
menyebutkan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
Undang-undang No. 7 tahun 1974 pasal 7, yakni calon suami sekurang-kurangnya
mencapai umur 19 tahun dan calon istri
sekurang-kurangnya mencapai umur 16 tahun. Setelah seseorang
melangsungkan perkawinan meskipun belum mencapai umur 21 tahun harus dianggap
telah dewasa, yang berarti cakap melakukan
perbuatan hukum termasuk membuat wasiat.
Sedangkan dalam KUH Perdata untuk
dapat membuat suatu wasiat/ testament seseorang diharuskan dewasa, yaitu
sudah mencapai umur 18 tahun atau belum
mencapai umur 18 tahun tetapi sudah menikah. Selain itu orang tersebut juga
mampu berpikir secara normal atau berakal sehat. Ketidaksehatan dari suatu
akal pikiran dapat bersifat tetap seperti sakit gila, dan
juga dapat bersifat sementara
seperti mabuk, sakit
panas/demam tinggi atau
dibawah hipnose. Orang yang membuat wasiat juga atas kehendak
sendiri, tidak dibuat di bawah ancaman atau penipuan.
2)
Orang
yang menerima wasiat
Dalam Hukum Islam orang yang berhak
menerima wasiat adalah orang yang bukan termasuk ke dalam golongan ahli waris.
Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Umamah
al-Bahili ra. yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda tidak ada wasiat
bagi ahli waris. Larangan berwasiat
kepada ahli waris yang telah
ditentukan pembagiannya ini dikarenakan pertimbangan hak dan perasaan ahli
waris yang lain. Bahwa tidak ada kesan wasiat itu menunjukkan perbedaan kasih
sayang di antara para ahli waris yang dapat menimbulkan perselisihan setelah
ditinggalkan orang yang berwasiat.
Selain itu dimaksudkan untuk memberi kelapangan kepada kerabat dekat yang
tidak termasuk ke dalam ahli waris.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan
bahwa pihak yang menerima wasiat adalah
orang dan lembaga.
Seperti halnya pada
hukum Islam, Kompilasi Hukum
Islam juga mensyaratkan orang yang menerima wasiat bukan termasuk golongan ahli
waris. Apabila diberikan
kepada ahli waris harus
disetujui terlebih dahulu oleh semua
ahli waris yang bersangkutan. Wasiat tidak boleh diberikan kepada orang
yang melakukan perawatan dan orang yang
memberi tuntunan kerohanian sewaktu menderita sakit hingga meninggalnya (pasal
207 Kompilasi Hukum Islam). Wasiat juga tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-
saksi pembuatan akta (pasal 208
Kompilasi Hukum Islam).
Alasan tidak diperbolehkannya
memberikan wasiat kepada mereka yaitu dikhawatirkan akan menyalahgunakan
kedudukannya bila dibolehkan menerima wasiat.
Berbeda dengan hukum Islam dan
Kompilasi Hukum Islam, KUH Perdata menyatakan bahwa yang berhak mendapatkan
wasiat adalah orang luar (yang dianggap
patut menerima wasiat)
dan ahli waris.
Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa
terdapat ahli waris
yang mendapat wasiat meskipun secara Undang-undang termasuk ahli
waris dari orang yang meninggal dunia, namun pasal 906 dan 907 KUH Perdata
mempunyai kemiripan dengan pasal 207 dan 208 Kompilasi Hukum Islam, yaitu
seorang Notaris dalam pembuatan wasiat
maupun saksi-saksi yang
hadir pada waktu pembuatan
wasiat tidak diperbolehkan
menarik suatu keuntungan dari wasiat tersebut. Dokter, apoteker atau perawat
yang telah merawat pewasiat sewaktu sakitnya serta guru agama tidak
diperbolehkan menarik keuntungan dari penetapan wasiat, kecuali dengan
alasan membalas jasa tertentu sehingga
orang tersebut pantas menerimanya. Penyebab
pernyataan ini adalah karena dikhawatirkan adanya pengaruh yang kurang
baik dari mereka atau orang-orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya untuk
kepentingan sendiri.
3)
Benda
yang diwasiatkan
Hukum Islam mensyaratkan benda yang
dapat diwasiatkan adalah harta yang telah ada
pada waktu pewasiat meninggal
dunia dan dapat dipindah tangan kan kepemilikannya dari pewasiat kepada orang
yang menerima wasiat. Benda yang dapat diwasiatkan adalah:
a)
Kebendaan
dan sifat-sifat yang mempunyai
nilai kebendaan. Misalnya
benda-benda tidak bergerak dan benda-benda bergerak.
b)
Hak-hak
kebendaan, seperti hak mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu sumber air
minum, irigasi pertanian dan perkebunan.
c)
Hak yang
bukan kebendaan, seperti
hak khiyar, hak syuf’ah
atau hak memanfaatkan barang yang
diwasiatkan.
d)
Benda-benda yang
bersangkutan dengan hak orang
lain, seperti benda- benda yang sedang digadaikan oleh orang yang
meninggal dunia, barang yang telah
dibeli orang yang telah meninggal dunia sewaktu masih hidup yang sudah
dibayar harganya tetapi barangnya belum diterima.
Kompilasi Hukum
Islam menyebutkan benda
yang dapat diwasiatkan dibedakan
dalam benda bergerak dan tidak bergerak. Wasiat juga bisa berupa hasil atau
pemanfaatan benda tertentu.
Hal ini sesuai dengan
pasal 198 Kompilasi Hukum Islam
yang menyebutkan bahwa wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun
pemanfaatan suatu benda harus diberi jangka waktu tertentu. Pembatasan jangka waktu yang dimaksudkan dalam
Kompilasi Hukum Islam ini untuk memudahkan tertib administrasi.
Berbeda dengan KUH Perdata, benda
yang dapat diwasiatkan meliputi seluruh aktiva dan pasiva dari pewasiat. Jadi
penerima wasiat tidak hanya bisa menerima hak-hak kebendaan yang telah
diwasiatkan kepadanya, namun bisa juga penerima
wasiat harus menanggung kewajiban-kewajiban dari pewasiat sebagai
sesuatu yang diwasiatkan kepadanya. Misalnya membayar hutang yang telah
ditinggalkan oleh pewasiat ketika masih hidup. Selain itu, benda wasiat dalam
KUH Perdata mempunyai persamaan
dengan hukum Islam
dan Kompilasi Hukum Islam, yakni:
a)
Benda-benda yang
dapat diwasiatkan dapat
berupa benda bergerak dan tidak bergerak.
b)
Dapat berupa
hal menikmati sebagian
atau seluruh dari
harta warisan. Misalnya orang yang berwasiat mempunyai sebuah kebun maka
orang yang namanya ditulis dalam surat wasiat dapat menikmati hasil kebun tersebut.
Atau apabila pewaris meninggalkan sebuah rumah, maka orang yang ditulis dalam
wasiat dapat mendiami rumah tersebut.
c)
Dapat
berupa hak lain dari harta kekayaan, misalnya hak untuk membeli satu atau
beberapa macam dari harta peninggalan.
4)
Redaksi
wasiat
Redaksi (sighat) wasiat
dalam hukum Islam
dapat berupa lisan atau isyarat bagi
orang yang tidak
bisa berbicara dan
dapat pula dibuat secara tertulis. Hal ini sesuai dengan
hadits Rasulullah SAW. yang mengatakan: Rasulullah
SAW. bersabda: Bukanlah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat)
selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat disisinya.
Imam Asy-syafi’iy mengatakan tidak
ada kehati-hatian dan keteguhan bagi seorang muslim, melainkan
wasiatnya itu tertulis disisinya. Apabila orang tersebut meninggal dunia sedang wasiatnya yang dikehendaki tidak tertulis, maka besar kemungkinan wasiat
tersebut tidak bisa dilaksanakan. Walaupun demikian baik wasiat dilakukan
secara lisan atau tertulis hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi.
Sesuai dengan firman Allah dalam
al-Qur’an surat al-Maidah ayat 106 yang artinya: Hai orang-orang yang
beriman, apabila seseorang di antara kamu menghadapi kematian, sedang dia akan
berwasiat, maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang saksi yang adil
di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu
jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu ditimpa bahaya
kematian.(al-Maidah ayat 106).
Hal ini dimaksudkan setelah orang
yang berwasiat meninggal dunia maka wasiatnya
dapat dilaksanakan dan
dapat dibuktikan bahwa
memang benar-benar telah dibuat
oleh pewasiat ketika masih hidup.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum
Islam juga disebutkan bahwa wasiat dapat dibuat secara lisan dan tertulis yang
dilakukan di hadapan dua orang saksi atau dibuktikan dengan akta otentik yang
dihadapan seorang Notaris (terdapat pada pasal 195 Kompilasi hukum Islam).
KUH Perdata dalam pasal 875
menyatakan bahwa suatu wasiat/ testament adalah suatu
akta yang memuat
pernyataan seseorang tentang
apa yang dikehendaki agar
terjadi setelah meninggal
dunia, dan yang
olehnya dapat dicabut kembali.
Sehingga wasiat merupakan suatu akta. Hal ini berarti wasiat/testament harus
berbentuk tulisan yang
dapat dibuat dengan
akta autentik.
Sedangkan akta di bawah tangan (codicil) hanya memuat hal-hal
yang tidak termasuk dalam pemberian
harta peninggalan. Misalnya
pesanan tentang penguburan
mayatnya.
4.
Legal Draf Hibah dan Wasiat
Secara harfiah
legal dafting dapat diterjemahkan secara bebas, adalah penyusunan/perancangan
Peraturan Perundang-undangan. Dari pendekatan hukum, Legal drafting adalah
kegiatan praktik hukum yang menghasilkan peraturan, sebagai contoh; Pemerintah
membuat Peraturan Perundang-undangan; Hakim membuat keputusan Pengadilan yang
mengikat publik; Swasta membuat ketentuan atau peraturan privat seperti;
perjanjian/kontrak, kerja sama dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang
melakukan perjanjian atau kontrak.
Dalam peraturan
perundang-undangan tentang wasiat yaitu diatur dalam KUHPerdata pasal 875-1015
disini menjelaskan bagaimana pelaksanaan dan praktik tentang wasiat. Adapun
dalam KHI wasiat diatur pada bab V pasal 194 -208 pembuatan KHI ini terjadi
pada masa orde baru yang merupakan himpunan peraturan perundang-undangan
tentang kompilasi hukum Islam, hal ini mendorong oleh banyaknya permintaan dan
juga kurangnya buku literatur yang ada.
Adapun untuk
permasalahan Hibah, yaitu diatur dalam KUHperdata pasal 1666- 1683 dan juga
dalam KHI pasal 209-214. Penjelasan pasal ini lebih ke tidak bolehan penarikan
kembali hibah kecuali orang tua kepada anaknya, karena mengambil dari
dalil-dalil yang melarang mengambil harta yang sudah diberikan kepada orang
lain.
Dalam
undang-undang tentang wasiat diperlukan adanya saksi sebagai syarat pembuatan
surat wasiat. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 941 KUHPerdata yang berbunyi:
“jika pewaris tidak dapat bicara, namun dapat menulis maka dalam hal ini ia
diperbolehkan membuat surat wasiat tertutup, asal surat itu ditulis, ditanggali
dan ditanda tangani olehnya sendiri. Surat tadi kemudian harus ditunjukkan
kepada notaris di hadapan para saksi, setelah itu di hadapan saksi – saksi, di
atas akta pengamatan surat harus ditulis dan ditanda tanganinya pula bahwa
kertas yang ditunjukkannya memuat wasiatnya. Lalu notaris harus menulis akta
pengamatan surat wasiat tadi dengan menerangkan di dalamnya bahwa pewaris telah
menulis surat itu di hadapannya dan di depan para saksi”.
5.
Contoh Surat Hibah dan Wasiat
1.
Wasiat
SURAT WASIAT
Pada hari ini, Selasa tanggal 05 April 2016 bertempat
di Banda Aceh. Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Rubianto
Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh/22
Januari 1975
Alamat
: Jln. Melati No. 24 Banda Aceh (tuliskan secara lengkap)
No.
KTP
: xxxxxxxxxxxxxxxx
Bersama ini menerangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa, saya adalah pemilik yang sah atas harta
kekayaan di bawah ini :
a.
Sebuah
Tanah Hak Milik dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 234/3456 atas nama
Rubianto yang bertempat di jalan Melati No. 24, Banda Aceh, Indonesia.
b.
Sebuah
Ruko Hak Milik dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 1342/25643 atas nama
Rubianto yang terletak di jalan Mawar No. 30, Banda Aceh, Indonesia.
c.
Sebuah
kendaraan roda empat merek Toyota nomor BPKB 54673825 nomor STNK 256743567812
2. Bahwa, harta kekayaan saya tersebut sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 di atas, pada saat ini tidak sedang terlibat dalam
sengketa hukum apa pun, tidak sedang dijadikan jaminan jenis hutang apa pun,
dan tidak sedang berada dalam penyitaan pihak Bank dan Instansi mana pun.
3. Bahwa, saya bermaksud untuk menghibah wasiatkan harta
kekayaan saya tersebut sebagaimana dimaksud angka 1 di atas kepada Andi Susanto
anak kandung saya dan Julianto keponakan saya. Berdasarkan surat wasiat ini,
yang nama-nama serta bagiannya masing-masing sebagaimana yang akan saya
nyatakan di bawah ini :
Agar
melaksanakan wasiat di atas, maka dengan ini saya mengangkat Andi Susanto anak
saya dan Julianto keponakan saya sebagai pelaksana surat wasiat ini. Kepadanya
saya berikan semua hak dan kekuasaan yang menurut undang-undang diberikan
kepada pelaksana wasiat, terutama hak untuk memegang dan mengurus serta
menguasai semua harta peninggalan saya, sampai kepadanya diberikan pengesahan
dan pembebasan sama sekali.
Untuk
melaksanakan surat ini, saya menitipkan surat wasiat ini kepada notaris Abdul
Kadir, S.H., Notaris di banda Aceh yang saya kenal, dan kepadanya saya telah
meminta dibuatkan akta penitipan atas surat wasiat ini.
Demikianlah
surat wasiat ini saya buat, dengan disaksikan oleh saksi-saksi yang saya
percaya.
1. Kamaruzzaman (Kepala Desa) (tanda tangan
saksi)
2. Mulyono, S.H (Pegawai Notaris) (tanda tangan saksi)
Yang
berwasiat
Notaris
Materai Rp. 6000-,
Rubianto
Abdul Kadir, S.H.,
2.
Hibah
SURAT HIBAH
Yang
bertanda tangan dibawah ini :
Nama
: Fakhruddin
Tempat/Tgl.
Lahir : Aceh, 20 Februari 1956
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil
Alamat
: Jln. Mawar No. 03 Aceh Besar
Selanjutnya
disebut pihak pertama ( I ) Ayah Kandung
Nama
: Ikhsan
Tempat/Tgl.
Lahir : Aceh Besar, 29 November 1988
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
: Jln. Melati No. 35 Aceh Besar
Selanjutnya
disebut pihak kedua ( II ) Anak Kandung Saya atas nama Pihak Pertama telah
menghibahkan sebidang tanah lahan perumahan kepada Pihak Kedua dengan
Sertifikat Hak Milik nomor : ........ atas nama Fakhruddin yang terletak di
wilayah Dusun Ujong Lon Desa Meunasah Baro Kec. Ingin Jaya Kab. Aceh Besar.
Selanjutnya
tanah tersebut selama saya kuasai tidak pernah terjadi persengketaan / digugat
oleh pihak lain, maka mulai tanggal surat ini dibuat tanah tersebut syah
menjadi sepenuhnya hak milik Pihak Kedua (II).
Demikian
Surat Hibah ini dibuat dengan sebenarnya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani
tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun. Dan surat ini dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Aceh Besar, 04 Januari 2016
Pihak
Kedua ( II
) Pihak
Pertama (I)
Ikhsan
Fakhruddin
Saksi-Saksi
:
1.
Marhaban ( ............... )
2.
Abdul halim ( ............... )
3.
Junaidi (
............... )
Diketahui
Oleh ;
KEPALA
DESA MEUNASAH BARO
(
Hasballah )
Komentar
Posting Komentar