A. Latar
Belakang
Masalah
perlindungan Korban dan Saksi di dalam proses peradilan pidana merupakan salah
satu permasalahan yang menjadi perhatian dunia internasional. Hal ini dapat
dilihat dengan dibahasnya masalah perlindungan korban kejahatan dalam Kongres
PBB VII tahun 1985 tentang “The Prevention of Crime and The Treatment of
Offenders” di Milan, Italia : Disebutkan “Victims right should be perceived as
an integral aspect of the total criminal justice system.” (Hak-hak Korban seharusnya
menjadi bagian yang integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana.
Undang-Undang
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dibentuk untuk
memberikan rasa aman terhadap setiap saksi dan/atau korban dalam memberikan
keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Skripsi tentang “Perlindungan
Hukum Terhadap Saksi dan Korban Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban” ini
bertujuan untuk memberikan penjelasan secara lebih jelas tentang mekanisme dan
kinerja LPSK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Perlindungan
dalam UU No. 13 Tahun 2006 diartikan sebagai segala upaya pemenuhan hak dan
pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang
wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini. Melihat pentingnya peranan saksi dan/atau korban dalam
membuat terang suatu perkara pidana maka pentinglah juga pemberian perlindungan
terhadap saksi dan korban tersebut.
Perlindungan
hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh pemerintah
untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga masyarakat.Berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Negara bertanggung jawab atas
perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal yang sangat penting. Seperti
yang jelas diurauikan dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-undang Dasar (UUD) Tahun
1945 yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Pentingnya perlindungan
hukum terhadap setiap masyarakat inilah yang menjadi salah satu alasan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban yang di undangkan pada 11 Agustus 2006. Dalam Undang-undang Nomor 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diatur pula
tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian
perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban, yang dinamakan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK bertugas dan berwenang untuk
memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban. Lingkup
perlindungan oleh LPSK adalah pada semua tahap proses peradilan pidana, agar
saksi dan/atau korban merasa aman ketika memberikan keterangan.
Penjelasan
Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
menyebutkan bahwa: Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana
di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 UU No.
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka
atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran
hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban
diatur dengan undang-undang sendiri.
Lembaga
ini dipandang penting, karena masyarakat luas memandang bahwa saksi dan korban
sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan.Peranan saksi dan
korban dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting karena kerap
keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan keputusan
hakim.
Sebagai lembaga
yang lahir dengan tugas utama memberikan perlindungan terhadap saksi dan
korban, LPSK telah menunjukkan rekam jejak, yang walau masih sedikit, namun
telah diacungi jempol dari berbagai pihak.Beberapa perlindungan dilakukan terhadap
saksi dan korban dalam kasus-kasus serius, di mana dari perlindungan itu
kemudian turut andil dalam menegakkan hukum demi mencapai keadilan.
B. Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), adalah lembaga yang bertugas dan
berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau
Korban. LPSK merupakan lembaga yang mandiri, LPSK bertanggung jawab untuk
menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan
tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam No 13 Tahun 2006.
1. 1. Keanggotaan
LPSK
Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang
berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan,
pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, Kepolisian,
Kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akademisi, Advokat, atau
Lembaga Swadaya Masyarakat.
Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah
sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan
LPSK.Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai
Negeri Sipil.
2. 2. Struktur
Organisasi LPSK
Dalam menjalankan tugasnya LPSK terdiri atas unsur
Pimpinan dan Anggota.Unsur pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua
yang merangkap anggota yang dipilih dari dan oleh anggota LPSK. Pelaksanaaan
kegiatan LPSK dilakukan oleh beberapa anggota yang bertanggung jawab pada
bidang-bidang yakni Bidang Perlindungan, Bidang Bantuan, Kompensasi, dan
Restitusi, Bidang Kerjasama, Bidang Pengembangan Kelembagaan, dan Bidang Hukum
Diseminasi dan Humas.
Agar tugas dan fungsi LPSK sebagaimana diamanatkan
oleh UU No. 13 Tahun 2006 dapat berjalan, maka diangkat seorang Sekretaris
berdasarkan Permensesneg No. 5 Tahun 2009 tentang Organisasi Tata Kerja
Sekretariat LPSK.
Untuk mengefektifkan
kinerjanya, LPSK merubah susunan Bidang-bidang menjadi Divisi-divisi.Sebelumnya
ada 5 bidang dalam pelaksanaan kegiatan LPSK dimana masing-masing anggota
bertanggungjawab pada masing-masing bidang.Seiring berjalannya pelaksanaan
tugas dan fungsi LPSK, susunan tersebut dirubah menjadi dua divisi.Divisi
Pemenuhan Hak Saksi dan Korban dan Divisi Hukum, Kerjasama dan Pengawasan Internal.Diseminasi
dan Humas menjadi sebuah Unit langsung dibawah tanggungjawab Ketua LPSK.
Dengan susunan baru ini, LPSK berharap akan lebih fokus dalam pelaksanaan
kegiatannya.
C. Tugas,
Fungsi dan Kewenangan LPSK
UU
PSK menyatakan bahwa LPSKH adalah lembaga yang mandiri .Apa yang dimaksud
mandiri dalam UU ini ,lebih tepatnya adalah sebuah lembaga yang yang independen
(biasanya disebut sebagai komisi independen),yakni
organ negara (state organ ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di
luar cabang kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun judikatif ,namun
memiliki fungsi campuran antara tiga
cabang kekuasaan tersebut. Sifat independen tercermin dari kepemimpinan yang
kolektif, bukan hanya seorang pimpinan. Di dalam UU Perlindungan Saksi dan
Korban disebutkan bahwa LPSK bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula
bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan
berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau
Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua
tahap proses peradilan pidana. Tujuan Perlindungan ini adalah untuk memberikan
rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses
peradilan pidana.
UU
No . 13 Tahun 2006 dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban ,yang selanjutnya disingkat LPSKH ,adalah lembaga
yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan hak-hak lain kepada
Saksi dan /atau Korban, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.Namun UUPSK
tidak merinci tugas dan wewenang dari
LPSKH tersebut lebih lanjut 20,perumus UU kelihatannya menjabarkan tugas
dan wewewnang LPSKH dalam suatu bagian
atau bab tersendiri dalam Tugas dan kewenangan LPSKH yang tersebar dalam UU No.13 Tahun 2006,yaitu
:
1. Menerima
permohan Saksi dan /atau Korban untuk Perlindungan (pasal 29)
2. Memberikan
keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau korban (pasal 29)
3. Memberikan
perlindungan kepada saksi dan /atau Korban (Pasal 1)
4. Menghentikan
progam perlindungan Saksi dan/ Korban (pasal 32)
5. Mengajukan
ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban)berupa hak atas kompensasi dalam
kasus pelanggaran hak asasai manusia yang berat dan hak atas restitusi atau
ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana (pasal 7)
6. Menerima
permintaan tertulis dari Korban ataupun orang yang mewakili korban untuk
bantuan (pasal 33 dan 34)
7. Menentukan
diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan /atau Korban (Pasal 34)
8. Bekerja
sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian
perlindungan dan bantuan (pasal 39)
LPSK bertanggung jawab untuk menangani
pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban berdasarkan tugas
dan kewenangan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud di atas, LPSK melaksanakan:
1. merumuskan
kebijakan di bidang Perlindungan Saksi dan Korban;
2. melaksanakan
perlindungan terhadap Saksi dan Korban;
3. melaksanakan
pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada Saksi dan atau Korban;
4. melaksanakan
diseminasi dan hubungan masyarakat;
5. melaksanakan
kerjasama dengan instansi dan pendidikan pelatihan;
6. melaksanakan
pengawasan, pelaporan, penelitian dan pengembangan;
7. melaksanakan
tugas lain berkaitan dengan pelindungan Saksi dan Korban.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
LPSK memiliki struktur yang terdiri dari pimpinan, anggota dan sekretaris.
Anggota LPSK memiliki tanggung jawab atas tugas dan fungsi:
1. perlindungan;
2. bantuan;
3. kerjasama;
4. pendidikan
dan Pelatihan;
5. pengawasan:
6. pelaporan;
7. penelitian
dan pengembangan;
8. pembentukan
hukum; dan
9. diseminasi
dan humas.
A. Mekanisme
Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK
Perlindungan
terhadap saksi dan korban diberikan berdasarkan beberapa asas seperti yang
tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yaitu: penghargaan
atas harkat dan martabat, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan
kepastian hukum.
Sebelum
saksi dan korban bisa mendapatkan perlindungan hukum dari LPSK, mereka harus
melewati beberapa prosedur yang telah ditetapkan oleh LPSK disamping mereka harus
memenuhi persyaratan untuk mendapat perlindungan dari LPSK ini seperti yang
telah dijelaskan dalam pasal 28 – pasal 36 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Proses
Pemberian Perlindungan Bagi Saksi dan/atau Korban:
1. Permintaan
diajukan secara tertulis oleh pihak yang bersangkutan, baik atas inisiatif
sendiri, diajukan oleh orang yang mewakilinya, dan atau oleh pejabat yang
berwenang kepada LPSK;
2. Pemberian
perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan/atau Korban ditentukan dan didasarkan
pada “Keputusan LPSK;
3. Dalam
hal LPSK menerima permohonan tersebut, Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan
berkewajiban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan
perlindungan Saksi dan Korban;
4. Perlindungan
LPSK diberikan kepada Saksi dan/atau Korban termasuk keluarganya sejak
ditandatanganinya pernyataan kesediaan;
5. Perlindungan
bagi Saksi dan/ atau Korban diberikan sejak ditandatanganinya perjanjian
pemberian perlindungan;
6. Pembiayaan
perlindungan dan bantuan yang diberikan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara;
7. Perlindungan
bagi Saksi dan/ atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan: (a)
inisiatif sendiri dari Saksi dan/ atau Korban yang dilindungi, (b) atas
permintaan pejabat yang berwenang, (c) saksi dan/ atau korban melanggar
ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau (d) LPSK berpendapat
bahwa Saksi dan/ atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan
bukti-bukti yang meyakinkan; dan
8. Penghentian
perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban harus dilakukan secara tertulis.
Adapun beberapa persyaratan yang telah
di tentukan oleh LPSK untuk pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi
dan korban tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang
berbunyi: “Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan
mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
1. Sifat
pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
2. Tingkat
ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
3. Basil
analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
4. Rekam
jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.
Ada pula Syarat untuk mendapatkan
perlindungan bagi Pelapor dan Saksi Pelapor menurut Peraturan Bersama, Menteri
hukuk dan hak asasi manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung RI, Kepala
Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi RI, Ketua LPSK No:
M.HH-11.HM.03.02.th.2011 No : PER-045/A/JA/12/2011 No : 1 Tahun 2011 NOMOR :
KEPB-02/01-55/12/2011 No : 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor,
Saksi Pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama, adalah sebagai berikut:
1. adanya
informasi penting yang diperlukan dalam mengungkap terjadinya atau akan
terjadinya suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
2. adanya
ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman atau tekanan, baik
secara fisik maupun psikis terhadap Pelapor dan Saksi Pelapor atau keluarganya
apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya; dan
3. laporan
tentang adanya ancaman atau tekanan tersebut disampaikan kepada pejabat yang
berwenang sesuai dengan tahap penanganannya dan dibuatkan berita acara
penerimaan laporan.
Tata
cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai
berikut:
1. Saksi
dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas
permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada
LPSK;
2. LPSK
segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud
3. Keputusan
LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan
perlindungan diajukan.
Dari ketentuan Pasal 29 ini ada
pengaturan mengenai apakah permohonan itu secara tertulis atau permohonan
perlindungan seharusnya bukan cuma dari pihak saksi/korban dan pejabat yang
berwenang tetapi juga oleh keluarga saksi dan korban yang bersangkutan dan
pendamping saksi dan korban.Pengajuan seharusnya dapat dilakukan oleh orang tua
atau walinya terhadap korban atau saksi masih dibawah umur atau anak-anak.
Permohonan yang telah diterima akan
dilanjutkan kepada UP2 oleh ketua LPSK. UP2 (Unit Penerimaan Permohonan) adalah
Unit yang bertugas untuk memberikan pelayanan penerimaan permohonan
perlindungan bagi saksi dan korban yang terkait pelaksanaan fungsi dan tugas
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.Sedangkan mengenai keputusan LPSK perihal
diterima ataupun ditolaknya suatu permohonan perlindungan yang berdasarkan
pemeriksaan yang telah dilakukan disampaikan paling lambat 7 hari sejak
permohonan perlindungan tersebut diajukan.
Selanjutnya dalam pasal 30 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 menyebutkan bahwa: “Dalam hal LPSK menerima
permohonan Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi
dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan
ketentuan perlindungan Saksi dan Korban.” Adapun mengenai pernyataan kesediaan
mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan yang harus ditandatangani oleh
saksi dan/atau korban diatur dalam pasal 30 ayat (2) yang berisi:
Pernyataan kesediaan mengikuti syarat
dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat:
1. Kesediaan
Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;
2. Kesediaan
Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan
keselamatannya;
3. Kesediaan
Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang
lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;
4. Kewajiban
Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai
keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
5. Hal-hal
lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Proses pengajuan permohonan hingga
disetujuinya permohonan tersebut sering kali membingungkan para saksi dan
korban, karena mereka harus melewati proses yang tidak pendek untuk mendapat
perlindungan dari LPSK ini. Hal inilah yang sering menjadi penyebab saksi dan
atau korban merasa enggan untuk meminta perlindungan dari LPSK dan memilih
untuk diam. Para saksi dan korban merasa kurang mengerti akan prosedur-prosedur
yang ditetapkan oleh LPSK. Apalagi bagi para saksi dan korban yang tidak begitu
mengerti akan hukum. Karena itulah pemdampingan akan seorang advokat akan
sangatlah membantu para saksi dan korban ini.
Dengan berada dibawah perlindungan LPSK,
saksi dan/atau korban ini tidaklah secara sepenuhnya merasa aman, karena
banyaknya persoalan yang kian datang sesuai dengan berjalannya suatu
persidangan.Dalam realita social penegak hukum tidak mau mendengar, melihat,
atau merasakan bahwa saksi yang dipanggil oleh penegak hukum, apakah dirinya
merasa aman atau nyaman, termasuk anggota keluarganya.Apalagi dalam setiap
tahap pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan sampai pemeriksaan di
pengadilan yang bertele-tele memakan waktu cukup lama. Kadang-kadang perkara
yang telah berlangsung cukup lama, sehingga secara manusiawi saksi atau korban
lupa akan peristiwa itu, tetapi di depan sidang pengadilan harus dituntut
kebenaran kesaksiannya.[24] Dalam fase yang seperti inilah campur tangan LPSK
sangat diperlukan. Karena kehadiran LPSK diharapkan dapat memberikan rasa
nyaman dan aman bagi saksi atau korban agar dapat memberikan kesaksiannya di
depan persidangan dan proses persidangan pun dapat berjalan tanpa bertele-tele.
B. Efektivitas
Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban oleh LPSK
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.LPSK merupakan suatu lembaga
yang di bentuk untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi
dan korban berdasarkan tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Perlindungan
hukum terhadap saksi dan korban selama ini didasarkan pada KUHP sebagai sumber
hukum materiil, dengan menggunaka KUHAP sebagai hukum acara.[25]Akan tetapi di
dalam KUHAP lebih banyak diatur tentang tersangka dari pada mengenai saksi dan
korban.Kedudukan saksi dan korban pun tampaknya belum optimal dibandingkan
kedudukan pelaku.
Walaupun
telah diundangkannya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, akan tetapi pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban ini
dipandang masih belum maksimal. UU Perlindungan Saksi dan Korban dinilai
belumlah cukup untuk menjamin perlindungan saksi dan korban yang secara
langsung memperhambat kinerja dari LPSK sendiri. Salah satunya yaitu: UU
Perlindungan Saksi dan Korban ini belum secara khusus mengatur mengenai
wewenang seperti apakah yang dimiliki oleh LPSK dalam rangka pemberian
perlindungan terhadap saksi dan korban, yang terkadang menyebabkan LPSK sering
salah jalan dalam melakukan tugasnya yang malahan menempatkan saksi dan/atau
korban tersebut dalam situasi yang rumit.
Jika
dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU Perlindungan Saksi
dan Korban terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi.Namun jika
diperhatikan dengan teliti, apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari
undang-undangnya maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai.[26]Ada
beberapa ketentuan yang seharusnya ditetapkan dalam UU PSK ini, salah satunya
adalah mengenai masalah pemberian bantuan terhadap saksi dan korban. Dalam
pasal 33 – pasal 36 UU Perlindungan Saksi dan Korban mengenai tata cara
pemberian bantuan, tidak menetapkan mengenai berbagai ketentuan yang seharusnya
disepakati oleh LPSK dengan saksi dan/atau korban agar dapat berjalan
beriringan. Akan lebih baik jika LPSK beserta saksi dan/atau korban yang akan
menerima bantuan tersebut, membuat perjanjian-perjanjian tentang bantuan yang
akan dilakukan oleh orang-orang, institusi atau organisasi. Misalnya membuat
kesepakatan dengan Departemen dilingkungan Pemerintahan lainnya, atau membuat
perjanjian dengan orang, institusi atau organisasi untuk kepentingan LPSK yang
lebih luas.
Selain
itu UU PSK ini mempunyai beberapa hal yang merupakan kelemahan, yaitu: Tidak
mengatur tentang cara bagaimana penegak hukum memberikan perlindungan terhadap
saksi dan korban, bahkan terhadap jaksa dan keluarganya sendiri, mengingat baik
saksi maupun korban dan Jaksa dalam kenyataannya kesulitan untuk mengamankan
diri dan keluarganya.
Adapun
hal lain yang menjadi penghambat dalam berkembangnya kinerja LPSK ini adalah
kurangnya informasi ataupun sosialisasi bagi masyarakat, sehingga minimnya
pengetahuan masyarakat akan kehadiran LPSK ini walaupun telah diundangkannya UU
Perlindungan Saksi dan Korban. Karena itulah pemberian informasi kepada
masyarakat luas sangatlah perting diadakan, terlebih khusus untuk memberikan
informasi kepada para saksi dan korban akan kehadiran LPSK ini. LPSK pun harus
dapat membangun lagi kepercayaan dari masyarakat terhadap kinerjanya dengan
terus memperbaiki kelemahan dan kekurangan yang mereka miliki.
Dari berbagai
kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki oleh LPSK, dapat dilihat bahwa kinerja
LPSK dalam hal memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban ini tidak bisa
berjalan secara efektif tanpa adanya perubahan akan UU Perlindungan Saksi dan
Korban itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar