Langsung ke konten utama

HUKUM PEMBUKTIAN DAN DALUWARSA MENURUT PERSFEKTIF HUKUM ISLAM

HUKUM PEMBUKTIAN DAN DALUWARSA

MENURUT PERSFEKTIF HUKUM ISLAM

MAKALAH


Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah logo-uin-sunan-gunung-djati-bandung _baru.jpgHukum Perdata

Dosen Pengampu: Muhamad Kholid, S.H., M.H.








Oleh:
Khaerul Anwar
(1143010055)
AS/III/B

AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015 M/1437 H
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum acara. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam pula hukum acara yang dianut oleh negara kita. Di antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang berbeda-beda tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan karektiristik tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar hukum pembuktian, sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan dan bagaimana hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat bukti yang diajukan.
Manakala hukum pembuktian dihubungkan dengan hukum perdata, para pakar hukum memandangnya sebagai suatu hal yang perlu adanya penelusuran lebih lanjut. Karena hukum pembuktian justru lebih banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata daripada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acaranya. Dari sini muncul beberapa interpretasi mereka seputar kemungkinan-kemungkinan yang dapat dijadikan alasan atas perumusan hukum pembuktian yang banyak diatur dalam KUHPer, bukan dalam KUHAPer. Inilah sebagaian dari beberapa hal yang melatar belakangi penulisan makalah ini.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Pembuktian?
2.      Alat - alat Pembuktian?
3.      Daluwarsa?
4.      Macam-macam Daluwarsa?
5.      Pembuktian dan daluwarsa menurut hukum Islam?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pembuktian
1.      Abdulkadir Muhamad
Pembuktian adalah mengajukan fakta-fakta menurut hukum yang cukup untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang suatu peristiwa atau hubungan hukum.
2.      Subekti
Alat bukti adalah segala apa yang menurut UU dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu.
3.      Subekti dan Tjitrosoedibjo
Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian.
B.     Alat - alat Pembuktian
Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, yaitu :
1.      Surat – Surat
Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditanda tangani. Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands). Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi. Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat. Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.
2.      Kesaksian.
Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi. Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.
3.      Persangkaan
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi.
Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden). Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya. Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.


4.      Pengakuan
Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi. Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima dari penggugat.
Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli. Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.
5.      Sumpah
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) dan ”tambahan” (supletoir eed).
Sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk ”mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu. Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh ”menentukan” jalannya perkara.
Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat ”mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.
C.     Daluwarsa
Pengertian Daluwarsa Dalam KUH Perdata pasal 1946 Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UU.
Ada dua macam Daluwarsa atau Verjaring :
1.      Acquisitieve Verjaring
Acquisitieve Verjaring Adalah lampau waktu yang menimbulkan hak. Syarat adanya kedaluwarsa ini harus ada itikad baik dari pihak yang menguasai benda tersebut.
Pasal 1963 KUH Perdata: Pasal 2000 NBW “Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa , dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun”. Dan “Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya”.
Seorang bezitter yang jujur atas suatu benda yang tidak bergerak lama kelamaan dapat memperoleh hak milik atas benda tersebut. Dan apabila ia bisa menunjukkan suatu title yang sah, maka dengan daluwarsa dua puluh tahun sejak mulai menguasai benda tersebut. Misalnya: Nisa menguasai tanah perkarangan tanpa adanya title yang sah selama 30 tahun. Selama waktu itu tidak ada gangguan dari pihak ketiga, maka demi hukum, tanah pekarangan itu menjadi miliknya dan tanpa dipertanyakannya alas hukum tersebut.

2.      Extinctieve Verjaring
Extinctieve Verjaring Adalah lampau waktu lampau yang melenyapakan atau membebaskan terhadap tagihan atau kewajibannya. Misalnya: Dheya telah meminjam uang kepada Syamsul sebesar Rp.10.000.000,00 . Dalam jangka waktu 30 tahun, uang itu tidak ditagih oleh Syamsul, maka berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, maka Dheya dibebaskan untuk membayar utangnya kepada Syamsul.
D.    Pembuktian dan Daluwarsa menurut hukum Islam
1.      Pembuktian
Pembuktian di dalam Syariah dikenal dengan al itsbat. Berasal dari kata atsbata-yustbitu-itsbat, yang mempunyai arti: menetapkan, mengekalkan atau mengukuhkan.
Sedangkan secara terminologi, istbat mempunyai arti: “mengemukakan keterangan di hadapan pengadilan dengan cara yang telah diatur oleh undang-undang karena adanya kenyataan hukum yang menjadi hak pendakwa”.
Dalam peradilan Islam, sistem pembuktiannya didasarkan pada prinsip kejelasan dan menghindari kesamaran. Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara ketika tidak ada bukti. Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi Saw, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Pengadaan bukti wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya.”
Juga hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya dari Ibnu Abbas Rasulullah Saw bersabda: "Sekiranya diberikan kepada manusia setiap dakwaan mereka niscaya mereka akan (mendzalimi) darah harta yang lainnya akan tetapi sumpah wajib bagi yang didakwa."
Sesuatu tidak bisa menjadi bukti, kecuali jika sesuatu itu meyakinkan dan pasti. Seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali kesaksiannya itu didasarkan pada sesuatu yang meyakinkan. Kesaksian tersebut tidak sah, jika dibangun di atas dzan (keraguan). Sebab, Rasulullah saw telah bersabda kepada para saksi: “Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah”.
Dalam Syariat Islam, yang dikategorikan bukti ada empat macam:
1)      Pengakuan atau disebut juga dengan Al-iqrar
Pengakuan atau iqrar telah ditetapkan (sebagai bukti) berdasarkan dalil, baik yang tercantum di dalam al-Qur’an maupun hadits. Allah SWT berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu) kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.” (Qs. al-Baqarah: 84). Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia meriwayatkan sebuah hadits tentang Ma’iz, bahwa Nabi Saw bertanya kepada Ma’iz bin Malik: “Apakah benar apa yang telah disampaikan kepadaku tentang dirimu?” Ma’iz balik bertanya, “Apa yang disampaikan kepada engkau tentang diriku?” Nabi Saw menjawab, “Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah berzina dengan budak perempuan keluarga si fulan”. Ma’iz menjawab, “Benar.” Kemudian bersaksilah empat orang saksi. Lalu, Rasulullah Saw memerintahkan agar Ma’iz dirajam. Maka dirajamlah al-Ma’iz.
2)      Sumpah, atau disebut juga dengan Al-Yamiin
Sumpah atau Al-Yamin telah ditetapkan dalilnya baik di dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Allah SWT berfirman: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup memenuhinya, maka kaffaratnya adalah puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).” (Qs. al-Maa’idah: 89). Rasulullah Saw bersabda: “Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya.”


3)      Kesaksian atau disebut juga dengan As-Syahadah
Kesaksian atau As-Asyahadah telah ditetapkan dalilnya, baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Allah SWT berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan.” (Qs. al-Baqarah: 282). Nabi Saw bersabda: “Dua saksi dari kalian, atau sumpahnya.”
4)      Dokumen-Dokumen Tertulis atau disebut juga dalam syariah Al-Qarinah
Dokumen-dokumen tertulis atau Al-Qarinah telah ditetapkan dalilnya di dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu jemu menulis hutang, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu tidak menulisnya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 282).
Ayat ini menunjukkan bahwa bukti-bukti tertulis, baik berupa dokumen-dokumen perdagangan, laporan-laporan tertulis, dan lain-lain, termasuk bukti-bukti.
Ini adalah cara-cara pembuktian yang dikenal oleh Syariah Islamiyah, berbeda halnya dengan hukum konvensional yang selain empat macam cara diatas, juga mengenal cara yang lain yaitu persangkaan. Sebagaimana dalam kitab IV KUHPer.
Selain itu, Oliver (2006), seorang pemikir pernah juga memberikan alternatif lain, yang mana alternatif pembuktian yang beliau ajukan dan gagas adalah, dengan teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of prin­ciples), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi.
2.      Daluwarsa
Di dalam buku IV KUHPer Daluwarsa dan Pembuktian dijelaskan bahwa daluwarsa adalah hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum (khususnya tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Dan didalam bahasa Arab Daluwarsa dikenal dengan At taqaddum.
Pada dasarnya Islam mengakui prinsip surut ke belakang. Artinya ada kasus-kasus yang telah terjadi lama yang tidak boleh diangkat kembali (dipetieskan), yaitu kasus yang terjadi 2 tahun lebih. Namun, kasus-kasus yang lama bisa saja diungkap kembali, dan bisa juga tidak perlu diangkat kembali tergantung dari keputusan seorang imam.
Adapun persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah Islamiyyah dan telah diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya; juga pidana yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat yang tidak berhubungan dengan pelunasan harta bagi pihak lain; maka persoalan-persoalan semacam ini tidak diungkit lagi (dibuka kembali) setelah berdirinya Daulah Khilafah. Urusan mereka diserahkan kepada Allah. Sebab, persoalan tersebut terjadi sebelum hukum-hukum Islam diterapkan secara praktis.
Adapun persoalan-persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah dan belum diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya; demikian juga persoalan yang terjadi setelah Daulah Khilafah berdiri, maka persoalan-persoalan semacam ini diselesaikan sesuai dengan hukum Islam. Pidana yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat dan belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya, akan tetapi berkaitan dengan pelunasan harta bagi pihak lain, maka akan dibuka persidangan untuk menghukum pelanggarnya dengan mengembalikan harta kepada pemilik yang sah.
Adapun pidana yang dilakukan oleh aparatus pelaksana pemerintahan sebelumnya yang menikam Islam dan kaum muslim serta yang menyebabkan lenyap dan bangkrutnya harta kaum muslim, sama saja apakah dilakukan oleh penguasa maupun kroninya; maka akan digelar sidang untuk memperkarakan mereka. Hukum syara’ akan diterapkan bagi mereka sebagai balasan atas kedzaliman yang mereka perbuat. Jadi, kasus apartheid bisa saja diungkap kembali, tergantung kebijakan Khalifah.
BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa macam-macam alat bukti dalam hukum acara perdata itu ada 6 yaitu: Bukti tertulis/surat, Bukti dengan saksi, Persangkaan, Pengakuan, Sumpah. Dan dalam hukum pembuktian juga ada beberapa yang mengharuskan hakim ketika menerima, memeriksa dan mengadili menyelesaikan perkara setiap perkara melihat toeri-teori pembuktian.
Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum acara. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam pula hukum acara yang dianut oleh negara kita. Di antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang berbeda-beda tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan karektiristik tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar hukum pembuktian, sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan dan bagaimana hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat bukti yang diajukan. Dalam pembuktian juga membahas terkait dengan Daluwarsa Dalam KUH Perdata pasal 1946 Daluwarsa yang merupakan suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UU.
Ayat Qur’an atau hadits yang ada menunjukkan bahwa bukti-bukti tertulis, baik berupa dokumen-dokumen perdagangan, laporan-laporan tertulis, dan lain-lain, termasuk bukti-bukti. Tetapi berbeda halnya dengan hukum konvensional yang selain empat macam cara yaitu Pengakuan atau disebut juga dengan Al-iqrar, Sumpah atau disebut juga dengan Al-Yamiin, Kesaksian atau disebut juga dengan As-Syahadah, Dokumen-Dokumen Tertulis atau disebut juga dalam syariah Al-Qarinah, juga mengenal cara yang lain yaitu persangkaan.
Pada dasarnya Islam mengakui prinsip surut ke belakang. Artinya ada kasus-kasus yang telah terjadi lama yang tidak boleh diangkat kembali (dipetieskan), yaitu kasus yang terjadi 2 tahun lebih. Namun, kasus-kasus yang lama bisa saja diungkap kembali, dan bisa juga tidak perlu diangkat kembali tergantung dari keputusan seorang imam.
B.     PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan, itu merupakan kelemahan serta kekurangan kami sebagai insan biasa



DAFTAR PUSTAKA

Arief , M. Isa. Pembuktian dan Daluwarsa. Jakarta: PT. Intermasa. 1986.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7,Yogyakarta: Liberty, Cet. I, 2006.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, Cet. XXV, 2005
Subekti, R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Intermasa, Cet. XXXII, 2005.
Sulistini, Elise T, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara Perdata, Jakarta, Bina Aksara, Cetakan kedua 1987.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH WALIMAH

WALIMAH MAKALAH Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan Islam I Oleh: Lusy Intan Maolani Khaerul Anwar M. Ilga Sopyan Miftah Farid AHWAL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2015 M/1437 H BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan, tidak ada satu masalah pun  dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan, dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai islam, walau masalah tersebut Nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak, dimulai bagaimana cara mencari kriteria calon pendamping hidup hingga bagaimana memperlakukannya dikala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam memiliki tuntunannya, begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikah...

Perbedaan mukmin fasiq dan dzalim dengan kafir

c.        Perbedaan mukmin fasiq dan dzalim dengan kafir 1)       Orang Fasik: Orang fasik adalah seorang muslim yang secara sedar melanggar ajaran Allah (Islam) atau dengan kata lain orang tersebut percaya akan adanya Allah, percaya akan kebenaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW tetapi dalam tindak perbuatannya mereka mengingkari terhadap Allah SWT dan hukumNya, selalu berbuat kerosakan dan kemaksiatan. Firman Allah SWT: t û ï Ï % © ! $ # t b q à Ò à ) Z t ƒ y ‰ ô g t ã « ! $ # . ` Ï B Ï ‰ ÷ è t / ¾ Ï m É ) » s W Š Ï B t b q ã è s Ü ø ) t ƒ u r ! $ t B t  t B r & ª ! $ # ÿ ¾ Ï m Î / b r & Ÿ @ | ¹ q ã ƒ š c r ß ‰ Å ¡ ø ÿ ã ƒ u r ’ Î û Ç Ú ö ‘ F { $ # 4 š  Í ´ ¯ » s 9 ' r é & ã N è d š c r ç Ž Å £ » y ‚ ø 9 $ # Ç Ë Ð È    “(yaitu) orang-orang yang melanggar Perjanjian Allah sesudah Perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk men...

Aliran-aliran Ilmu Tauhid

2.       Aliran-aliran Ilmu Tauhid a.        Jabariyah Ajaran-ajaran dari aliran Jabariyah di antaranya adalah : 1)       Manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya. 2)       Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi. 3)       Ilmu Allah bersifat Huduts (baru) 4)       Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan. 5)       Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya. 6)       Surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata. 7)       Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga. 8)     ...