HUKUM PEMBUKTIAN
DAN DALUWARSA
MENURUT PERSFEKTIF HUKUM ISLAM
MAKALAH
Dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Perdata
Dosen Pengampu: Muhamad Kholid, S.H., M.H.
Oleh:
Khaerul
Anwar
(1143010055)
AS/III/B
AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015
M/1437 H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum
pembuktian merupakan salah satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum
acara. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam pula hukum acara yang dianut oleh
negara kita. Di antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan
Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang
berbeda-beda tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan karektiristik
tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar hukum pembuktian,
sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan dan bagaimana
hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat bukti yang
diajukan.
Manakala
hukum pembuktian dihubungkan dengan hukum perdata, para pakar hukum
memandangnya sebagai suatu hal yang perlu adanya penelusuran lebih lanjut.
Karena hukum pembuktian justru lebih banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata daripada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acaranya. Dari sini
muncul beberapa interpretasi mereka seputar kemungkinan-kemungkinan yang dapat
dijadikan alasan atas perumusan hukum pembuktian yang banyak diatur dalam
KUHPer, bukan dalam KUHAPer. Inilah sebagaian dari beberapa hal yang melatar
belakangi penulisan makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Pembuktian?
2. Alat - alat Pembuktian?
3. Daluwarsa?
4. Macam-macam Daluwarsa?
5. Pembuktian dan daluwarsa menurut
hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembuktian
1. Abdulkadir Muhamad
Pembuktian
adalah mengajukan fakta-fakta menurut hukum yang cukup untuk memberikan
kepastian kepada hakim tentang suatu peristiwa atau hubungan hukum.
2. Subekti
Alat bukti
adalah segala apa yang menurut UU dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu.
3. Subekti dan Tjitrosoedibjo
Bukti adalah
sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian.
B. Alat - alat Pembuktian
Menurut
undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, yaitu :
1. Surat – Surat
Menurut
undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat
lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan
sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditanda tangani.
Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat
akte di bawah tangan (onderhands). Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu
akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut
undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum
yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai
Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut
undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian
sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte
resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte
itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi.
Suatu
akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau
dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli
atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani
surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang
berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam
surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut memperoleh suatu
kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi. Akan tetapi jika tanda
tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut
diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut.
Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte
resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi,
diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat
umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat.
Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat,
faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya
diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau
tidak mempercayai kebenarannya.
2. Kesaksian.
Sesudah
pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara
pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim.
Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri
atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya
mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak
boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya
dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak
menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian
bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi
terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk
mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi. Seorang saksi yang
sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak
oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari
kewajibannya untuk memberikan kesaksian.Selanjutnya, undang-undang menetapkan
bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan
putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja.
Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.
3. Persangkaan
Persangkan
ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan
nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu
peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi.
Dalam
pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh
undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang
ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden). Persangkaan yang
ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya
merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk
keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi
pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan,
bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat
pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan
mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu
perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain.
Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata
kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang
melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan
didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari
keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua
orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu
lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.
4. Pengakuan
Sebenarnya
pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu
hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak
dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab
pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut
undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang
sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim
terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui
memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya
bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi. Adakalanya, seorang tergugat
dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh
penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang
menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli,
tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima
dari penggugat.
Menurut
UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga
merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu.
Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh
UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam
praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli
dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli.
Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai
alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan
oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.
5. Sumpah
Menurut
UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed)
dan ”tambahan” (supletoir eed).
Sumpah
yang ”menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah
satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri
perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah
yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan
sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak
pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan
mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk ”mengembalikan” perintah itu, artinya
meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja
perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula.
Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : ”Saya bersumpah bahwa
sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang
dikembalikan akan berbunyi ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak
menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula
memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia
mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak
pengangkatan sumpah itu. Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan
pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu
apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim
memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh
mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang
mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak
itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan
terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang
berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu
sungguh-sungguh ”menentukan” jalannya perkara.
Suatu
sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah
satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu
perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan
penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas
dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan
memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah
merupakan permulaan pembuktian.
Pihak
yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat
mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat ”mengembalikan” sumpah
tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat
dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan
sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan
diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan
sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak
hakim itu sendiri.
C. Daluwarsa
Pengertian
Daluwarsa Dalam KUH Perdata pasal 1946 Daluwarsa adalah suatu alat untuk
memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu
waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UU.
Ada
dua macam Daluwarsa atau Verjaring :
1. Acquisitieve Verjaring
Acquisitieve
Verjaring Adalah lampau waktu yang menimbulkan hak. Syarat adanya kedaluwarsa
ini harus ada itikad baik dari pihak yang menguasai benda tersebut.
Pasal
1963 KUH Perdata: Pasal 2000 NBW “Siapa yang dengan itikad baik, dan
berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu
bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh
hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa , dengan suatu penguasaan selama dua
puluh tahun”. Dan “Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama tiga puluh
tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan
alas haknya”.
Seorang
bezitter yang jujur atas suatu benda yang tidak bergerak lama kelamaan dapat
memperoleh hak milik atas benda tersebut. Dan apabila ia bisa menunjukkan suatu
title yang sah, maka dengan daluwarsa dua puluh tahun sejak mulai menguasai
benda tersebut. Misalnya: Nisa menguasai tanah perkarangan tanpa adanya title
yang sah selama 30 tahun. Selama waktu itu tidak ada gangguan dari pihak
ketiga, maka demi hukum, tanah pekarangan itu menjadi miliknya dan tanpa
dipertanyakannya alas hukum tersebut.
2. Extinctieve Verjaring
Extinctieve
Verjaring Adalah lampau waktu lampau yang melenyapakan atau membebaskan
terhadap tagihan atau kewajibannya. Misalnya: Dheya telah meminjam uang kepada
Syamsul sebesar Rp.10.000.000,00 . Dalam jangka waktu 30 tahun, uang itu tidak
ditagih oleh Syamsul, maka berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, maka Dheya
dibebaskan untuk membayar utangnya kepada Syamsul.
D. Pembuktian dan Daluwarsa menurut
hukum Islam
1. Pembuktian
Pembuktian di dalam Syariah dikenal dengan al itsbat.
Berasal dari kata atsbata-yustbitu-itsbat, yang mempunyai arti: menetapkan,
mengekalkan atau mengukuhkan.
Sedangkan secara terminologi, istbat mempunyai arti: “mengemukakan keterangan di hadapan pengadilan dengan cara yang telah diatur oleh undang-undang karena adanya kenyataan hukum yang menjadi hak pendakwa”.
Sedangkan secara terminologi, istbat mempunyai arti: “mengemukakan keterangan di hadapan pengadilan dengan cara yang telah diatur oleh undang-undang karena adanya kenyataan hukum yang menjadi hak pendakwa”.
Dalam peradilan Islam, sistem pembuktiannya didasarkan pada
prinsip kejelasan dan menghindari kesamaran. Seorang hakim tidak boleh
memutuskan perkara ketika tidak ada bukti. Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah
hadits dari Nabi Saw, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Pengadaan bukti
wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang
mengingkarinya.”
Juga hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya dari Ibnu Abbas Rasulullah Saw bersabda: "Sekiranya diberikan kepada manusia setiap dakwaan mereka niscaya mereka akan (mendzalimi) darah harta yang lainnya akan tetapi sumpah wajib bagi yang didakwa."
Juga hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya dari Ibnu Abbas Rasulullah Saw bersabda: "Sekiranya diberikan kepada manusia setiap dakwaan mereka niscaya mereka akan (mendzalimi) darah harta yang lainnya akan tetapi sumpah wajib bagi yang didakwa."
Sesuatu tidak bisa menjadi bukti, kecuali jika sesuatu itu
meyakinkan dan pasti. Seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali
kesaksiannya itu didasarkan pada sesuatu yang meyakinkan. Kesaksian tersebut
tidak sah, jika dibangun di atas dzan (keraguan). Sebab, Rasulullah saw telah
bersabda kepada para saksi: “Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat
matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah”.
Dalam Syariat Islam, yang dikategorikan bukti ada empat
macam:
1) Pengakuan atau
disebut juga dengan Al-iqrar
Pengakuan atau iqrar telah ditetapkan (sebagai bukti)
berdasarkan dalil, baik yang tercantum di dalam al-Qur’an maupun hadits. Allah
SWT berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu)
kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan
mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu
berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.” (Qs. al-Baqarah:
84). Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia meriwayatkan sebuah hadits tentang Ma’iz, bahwa
Nabi Saw bertanya kepada Ma’iz bin Malik: “Apakah benar apa yang telah
disampaikan kepadaku tentang dirimu?” Ma’iz balik bertanya, “Apa yang
disampaikan kepada engkau tentang diriku?” Nabi Saw menjawab, “Telah sampai
berita kepadaku bahwa engkau telah berzina dengan budak perempuan keluarga si
fulan”. Ma’iz menjawab, “Benar.” Kemudian bersaksilah empat orang saksi. Lalu,
Rasulullah Saw memerintahkan agar Ma’iz dirajam. Maka dirajamlah al-Ma’iz.
2) Sumpah, atau
disebut juga dengan Al-Yamiin
Sumpah atau Al-Yamin telah ditetapkan dalilnya baik di
dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Allah SWT berfirman: “Allah tidak menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup memenuhinya,
maka kaffaratnya adalah puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah
kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).” (Qs.
al-Maa’idah: 89). Rasulullah Saw bersabda: “Bukti itu wajib bagi orang yang
mendakwa sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya.”
3) Kesaksian atau
disebut juga dengan As-Syahadah
Kesaksian atau As-Asyahadah telah ditetapkan dalilnya, baik
dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Allah SWT berfirman: “Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan.” (Qs. al-Baqarah:
282). Nabi Saw bersabda: “Dua saksi dari kalian, atau sumpahnya.”
4) Dokumen-Dokumen
Tertulis atau disebut juga dalam syariah Al-Qarinah
Dokumen-dokumen tertulis atau Al-Qarinah telah ditetapkan
dalilnya di dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu jemu
menulis hutang, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu),
kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu,
maka tidak ada dosa bagi kamu tidak menulisnya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 282).
Ayat ini menunjukkan bahwa bukti-bukti tertulis, baik
berupa dokumen-dokumen perdagangan, laporan-laporan tertulis, dan lain-lain,
termasuk bukti-bukti.
Ini adalah cara-cara pembuktian yang dikenal oleh Syariah Islamiyah, berbeda halnya dengan hukum konvensional yang selain empat macam cara diatas, juga mengenal cara yang lain yaitu persangkaan. Sebagaimana dalam kitab IV KUHPer.
Selain itu, Oliver (2006), seorang pemikir pernah juga memberikan alternatif lain, yang mana alternatif pembuktian yang beliau ajukan dan gagas adalah, dengan teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of principles), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi.
Ini adalah cara-cara pembuktian yang dikenal oleh Syariah Islamiyah, berbeda halnya dengan hukum konvensional yang selain empat macam cara diatas, juga mengenal cara yang lain yaitu persangkaan. Sebagaimana dalam kitab IV KUHPer.
Selain itu, Oliver (2006), seorang pemikir pernah juga memberikan alternatif lain, yang mana alternatif pembuktian yang beliau ajukan dan gagas adalah, dengan teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of principles), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi.
2. Daluwarsa
Di dalam buku IV KUHPer Daluwarsa dan Pembuktian dijelaskan
bahwa daluwarsa adalah hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
subyek hukum (khususnya tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam
hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Dan didalam bahasa
Arab Daluwarsa dikenal dengan At taqaddum.
Pada dasarnya Islam mengakui prinsip surut ke belakang.
Artinya ada kasus-kasus yang telah terjadi lama yang tidak boleh diangkat
kembali (dipetieskan), yaitu kasus yang terjadi 2 tahun lebih. Namun, kasus-kasus
yang lama bisa saja diungkap kembali, dan bisa juga tidak perlu diangkat
kembali tergantung dari keputusan seorang imam.
Adapun persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah
Islamiyyah dan telah diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya; juga pidana yang
dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat yang tidak berhubungan dengan
pelunasan harta bagi pihak lain; maka persoalan-persoalan semacam ini tidak
diungkit lagi (dibuka kembali) setelah berdirinya Daulah Khilafah. Urusan
mereka diserahkan kepada Allah. Sebab, persoalan tersebut terjadi sebelum
hukum-hukum Islam diterapkan secara praktis.
Adapun persoalan-persoalan yang terjadi sebelum berdirinya
Daulah dan belum diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya; demikian juga
persoalan yang terjadi setelah Daulah Khilafah berdiri, maka
persoalan-persoalan semacam ini diselesaikan sesuai dengan hukum Islam. Pidana
yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat dan belum diselesaikan oleh
pemerintahan sebelumnya, akan tetapi berkaitan dengan pelunasan harta bagi
pihak lain, maka akan dibuka persidangan untuk menghukum pelanggarnya dengan
mengembalikan harta kepada pemilik yang sah.
Adapun pidana yang dilakukan oleh aparatus pelaksana
pemerintahan sebelumnya yang menikam Islam dan kaum muslim serta yang menyebabkan
lenyap dan bangkrutnya harta kaum muslim, sama saja apakah dilakukan oleh
penguasa maupun kroninya; maka akan digelar sidang untuk memperkarakan mereka.
Hukum syara’ akan diterapkan bagi mereka sebagai balasan atas kedzaliman yang
mereka perbuat. Jadi, kasus apartheid bisa saja diungkap kembali,
tergantung kebijakan Khalifah.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Dari
uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa macam-macam alat bukti dalam hukum
acara perdata itu ada 6 yaitu: Bukti tertulis/surat, Bukti dengan saksi, Persangkaan,
Pengakuan, Sumpah. Dan dalam hukum pembuktian juga ada beberapa yang
mengharuskan hakim ketika menerima, memeriksa dan mengadili menyelesaikan
perkara setiap perkara melihat toeri-teori pembuktian.
Hukum
pembuktian merupakan salah satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum
acara. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam pula hukum acara yang dianut oleh
negara kita. Di antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan
Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang
berbeda-beda tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan
karektiristik tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar
hukum pembuktian, sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan
dan bagaimana hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat
bukti yang diajukan. Dalam pembuktian juga membahas terkait dengan Daluwarsa
Dalam KUH Perdata pasal 1946 Daluwarsa yang merupakan suatu alat untuk
memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu
waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UU.
Ayat Qur’an atau hadits yang ada menunjukkan bahwa
bukti-bukti tertulis, baik berupa dokumen-dokumen perdagangan, laporan-laporan
tertulis, dan lain-lain, termasuk bukti-bukti. Tetapi berbeda halnya dengan
hukum konvensional yang selain empat macam cara yaitu Pengakuan atau disebut
juga dengan Al-iqrar, Sumpah atau disebut juga dengan Al-Yamiin, Kesaksian atau
disebut juga dengan As-Syahadah, Dokumen-Dokumen Tertulis atau disebut juga
dalam syariah Al-Qarinah, juga mengenal cara yang lain yaitu persangkaan.
Pada dasarnya Islam mengakui prinsip surut ke belakang.
Artinya ada kasus-kasus yang telah terjadi lama yang tidak boleh diangkat
kembali (dipetieskan), yaitu kasus yang terjadi 2 tahun lebih. Namun,
kasus-kasus yang lama bisa saja diungkap kembali, dan bisa juga tidak perlu
diangkat kembali tergantung dari keputusan seorang imam.
B. PENUTUP
Demikianlah
makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan, itu merupakan
kelemahan serta kekurangan kami sebagai insan biasa
DAFTAR PUSTAKA
Arief , M. Isa. Pembuktian dan Daluwarsa.
Jakarta: PT. Intermasa. 1986.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara
Perdata Indonesia Edisi Ke 7,Yogyakarta: Liberty, Cet. I, 2006.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, Cet. XXV,
2005
Subekti, R, Pokok-Pokok Hukum
Perdata, Jakarta: P.T. Intermasa, Cet. XXXII, 2005.
Sulistini, Elise T, Petunjuk
Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara Perdata, Jakarta, Bina Aksara, Cetakan
kedua 1987.
Komentar
Posting Komentar